v PENGERTIAN
SYARI’AT ISLAM
Secara
etimologis, syari’ah artinya “jalan ke mata air”, berasal kata syara’a, “yang ditetapkan dan
didekritkan”. Di dalam al-quran, kata syari’ah muncul satu kali di dalam surah
Al-Jasiyah ayat 18 dengan pengertian jalan yang mesti diikuti. Kata bentukan
syir’ah juga digunakan dalam surah Al-Maidah ayat 48 dengan pengertian jalan.
Sementara akar kata syara’a muncul dua kali di dalam Al-qur’an, dengan tuhan
sebagai subyeknya (pada surah Asy-Syura ayat 13) dan dalam kaitannya dengan
orang-orang yang membangkang kepada tuhan (surah Al-A’raf ayat 163)
Muhammad
Yusron Hadi, dalam sebuah tulisannya yang berjudul Syariat Islam dan
Fitrah Manusia, mengutip Muhammad Salam Madkur mendefinisikan syariat sebagai
“hukum yang telah ditetapkan oleh Allah bagi hamba-hamba-Nya, agar mereka
menjadi orang yang beriman dan beramal shaleh dalam kehidupannya, baik yang
berkaitan dengan perbuatan, akidah, maupun akhlak.” (Al-Fiqh Al-Islami, 1/11).
Definisi di atas senada dengan pengertian syariat menurut Manna’ Khalil
al-Qathan, “syariat adalah apa-apa yang telah ditetapkan oleh Allah Swt bagi
para hamba-Nya, baik mengenai akidah, ibadah, akhlak, muamalat maupun tatanan
kehidupan lainnya, dengan segala cabangnya yang bermacam-macam guna
merealisasikan kebahagiaan baik didunia maupun di akhirat.” (At-Tasyri’ wa
al-Fiqh fi al-Islam, hal 10).
Sedangkan
menurut Mahmud Syaltut, syariat adalah “peraturan-peraturan yang ditetapkan Allah
bagi hamba-Nya untuk diikuti dalam hubungannya dengan Allah, dengan saudaranya
sesama muslim, dengan saudaranya sesama manusia, dan berhubungan dengan alam
semesta serta berhubungan dengan kehidupan.” (Al-Islam Aqidatun wa Syarii’atun,
hal 12)
Dari
definisi di atas dapat disimpulkan bahwa makna syariat mengandung dua arti:
Pertama, seluruh ajaran agama yang mencakup akidah, ibadah, akhlak, hukum dan
muamalah. Dengan kata lain, syariat mencakup ushul dan furu’, akidah dan amal,
serta teori dan aplikasi. Ia mencakup seluruh sisi keimanan (akidah),
sebagaimana ia mencakup sisi lain seperti ibadah, muamalah, dan akhlak yang
dibawa oleh Islam serta dirangkum dalam Al-Quran dan As-Sunnah untuk kemudian
dijelaskan oleh ulama fikih, akidah dan akhlak. Kedua, sisi hukum amaliah di
dalam agama, seperti ibadah dan muamalah yang mencakup hubungan dengan Allah
dan mencakup juga urusan keluarga, masyarakat, ummat, negara, hukum dan
hubungan luar negeri.
Sebagai
hukum Tuhan, syariat menempati posisi paling penting dalam masyarakat islam.
Sebagian umat islam meyakini syariat mencakup seluruh aspek kehidupan manusia,
baik secara individual maupun kolektif.
v JENIS-JENIS
SYARI’AT ISLAM
Syari’at
Islam mempunyai 2 sumber hukum dalam menetapkan undang-undangnya, yaitu: Al-Qur’an
dan Hadits, walaupun sebagian ‘ulama’ memasukkan ijma’ dan qiyas sebagai sumber
hukum syari’at Islam. Segala ketetapan di dalam agama Islam yang bersifat
perintah, anjuran, larangan, pemberian pilihan atau yang sejenisnya dinamakan
sebagai hukum-hukum syara’ atau hukum-hukum syari’at atau hukum-hukum agama.
Hukum
syara’ adalah seruan Syari’ (pembuat hukum) yang berkaitan dengan aktivitas
hamba (manusia) berupa tuntutan, penetapan dan pemberian pilihan. Dikatakan
Syari’ tanpa menyebutkan Allah swt sebagai pembuat hukum karena agar sunnah
Nabi Muhammad saw termasuk didalamnya. Dikatakan pula “aktivitas hamba”, tidak
menggunakan mukallaf (orang yang dibebani hukum), agar hukum itu mencakup anak
kecil dan orang gila.
Menurut
H.M. Rasyidi, bagian-bagian hukum islam adalah:
1.
Munaakahat
Munaakahat
adalah hukum yang mengatur segala sesuatu yang berhubungan dengan perkawinan,
perceraian serta akiba-akibatnya.
2.
Wirasah
Wirasaha
adalah hukum yang mengatur segala masalah yang berhubungan denga pewaris, ahli
waris, harta peninggalan serta pembagian warisan. Hukum pewarisan ini juga
disebut fara’id.
3.
Muamalat dalam arti khusus
Yakni
hukum yang mengatur masalah kebendaan dan hak-hak atas benda, tata hubungan
manusia dalam soal jual-beli, sewa-menyewa, pinjam-meminjam, perserikatan dan
sebagainya.
4.
Jinayat
Yakni
hukum yang memuat aturan-aturan mengenai perbuatan-perbuatan yang diancam
dengan hukuman, baik dalam jarimah hudud (perbuatan pidana yang telah
ditentukan bentuk dan batas hukumannya dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah) maupun
jarimah ta’sir (perbuatan pidana yang bentuk dan batas hukumannya ditentukan
oleh penguasa sebagai pelajaran bagi pelakunya).
5.
Al-ahkam as-sulthaniyah
Yakni
hukum yang mengatur soal-soal yang berhubungan dengan kepala Negara,
pemerintahan, baik pemerintah pusat maupun daerah, tentara, pajak dan
sebagainya.
6.
Siyar
Yakni
hukum yang mengatur urusan perang dan damai, tata hubungan dengan pemeluk agama
dan Negara lain.
7.
Mukhaassamat
Yakni
hukum yang mengatur peradilan, kehakiman dan hukum acara.
Sedangkan
sistematika hukum islam terdiri dari:
a. Al-ahkam
al-syahshiyah (hukum perorangan/keluarga) mencakup masalah perkawinan dan
waris. Yang berkaitan dengan hukum ini berjumlah 70 ayat.
b. Al-ahkum
al-madaniyah (hukum perdata), hukum ini berkaitan dengan transaksi jual beli,
perburuhan, utang piutang, jaminan dan gadai. Ayat yang berkaitan dengan
masalah ini berjumlah 70 ayat.
c. Al-ahkam
al-jinaiyah (hukum pidana), hukum ini berkaitan dengan pelanggaran dan
kejahatan. Ayat yang berkaitan dengan masalah ini berjumlah 30 ayat.
d. Al-ahkam
al-murafa’ah (hukum acara), hukum ini berkenaan dengan peradilan, kesaksian,
pembuktian dan sumpah. Ayat yang berkaitan dengan masalah ini berjumlah 13
ayat.
e. Al-ahkam
al-dusturiyah (hukum tata Negara), hukum ini berkaitan dengan sistem
pemerintahan dan prinsip-prinsip pengaturannya. Ayat yang berhubungan dengan
masalah ini berjumlah 10 ayat.
f.
Al-ahkam al-dauliyah (hukum internasional),
hukum ini berkaitan dengan hubungan antar Negara, kerja sama dan perdamaian
g. Al-ahkam
al-iqtishadiyah wal amaliyah (hukum perekonomian dan keuangan), hukum berkaitan
dengan pendapatan Negara, baitul maal, dan pendistribusiannya pada masyarakat.
Ayat yang berkaitan dengan persoalan ini berjumlah 10 ayat (Abdul Khalaf Wahab,
1973:32-34)
v PENERAPAN
SYARI’AT ISLAM DI INDONESIA
Penerapan
syariat islam di Indonesia sudah berlaku sejak lama, bahkan saat Belanda masih
menjajah Indonesia. Pada saat VOC masih berdiri, pengadilan terpisah menjadi 2,
yaitu pengadilan untuk warga pribumi dan untuk orang eropa. Untuk golongan
pribumi, hukum yang diterapkan adalah hukum adat. Sedangkan untuk orang eropa
dibentuk pengadilan umum.
Ketika
VOC bubar, Belanda mengeluarkan dekrit Kerajaan 1882 tentang pembentukan
pengadilan agama di Jawa dan Madura. Pengadilan agama ini memiliki yurisdiksi
atas hukum kekeluargaan dan hukum waris islam serta wakaf. Perangkat pengadilan
ini terdiri dari seorang ketua yang dipilih dari pegawai pengadilan pribumi dan
3-8 qadli (hakim) sebagai anggota yang dipilih oleh Gubernur Jendral Hindia
Belanda
Sejak
proklamasi kemerdekaan Indonesia pada tanggal 17 agustus 1945, Indonesia
mewarisi sistem hukum yang ditingalkan oleh Belanda. Karena itu, keinginan
untuk mereformasi hukum-hukum peninggalan Belanda muncul. Hukum yang coba
diperbaharui adalah hukum perkawinan mulai dari tahun 1945 hingga tahun 1973.
Namun upaya memperbaharui hukum ini menimbulkan berbagai konflik dan tidak
dapat mencapai kata sepakat. Salah satu undang-undang yang berhasil dibuat
dalam periode tersebut adalah Undang-Undang Pencatatan Perkawinan dan
Perceraian Muslim (1946). Pada tahun
1974 diberlakukan Undang-Undang Hukum perkawinan yang berlaku untuk seluruh
warga Indonesia, termasuk non-muslim. Dalam undang-undang tersebut tercantum
pula mengenai izin cerai dan poligami yang sempat memunculkan sejumlah
kontroversi.
Penerapan
Syariat Islam di Indonesia menghadapi tantangan (challenge) yang cukup serius. Masalahnya,
Indonesia ditakdirkan lahir sebagai bangsa yang heterogen (warna-warni) bukan homogen (satu warna) dan
itu direpresentasi oleh Pancasila dan UUD 1945 sebagai basic Negara dan
konstitusi. Akibatnya, seluruh warga negara Indonesia berkedudukan dan berhak
mendapat perlindungan dan perlakuan yang sama dari Negara tanpa memandang back ground/ latar
belakang agama yang dianutnya.
Persoalan
yang cukup serius di sini adalah masih banyaknya masyarakat, tokoh bangsa dan
kaum intelektual yang memiliki kekhawatiran yang amat tinggi atas penerapan
syariat Islam. Mereka khawatir penerepannya akan melibas-menafikan
keserbanekaan yang ada di negeri ini. Kondisi inilah yang menjelaskan
mengapa pendekatan politik-legal penerapan Syariat Is lam di Indonesia selalu
mendapat tantangan, bukan hanya dari kalangan non-muslim, bahkan dari kalangan
tokoh-tokoh Islam sendiri. Taruhannya sangat serius yaitu eksisnya Indonesia
sebagai bangsa kokoh bersatu. Maka, banyak tokoh-tokoh Islam atau organisasi Islam
yang mengambil jalan panjang dengan transformasi sosial. Artinya, masyarakat
–lewat lembaga-lembaga dan nilai-nilai social- terus dikondisikan untuk semakin
Islami. Akhirnya kelompok ini memiliki idealism untuk mencegah pendekatan
politik-kenegaraan dalam penerapan syariat Islam, karena menurut mereka rakyat
Indonesia akan menjalankan syariat Islam dengan sendirinya.
HAK ASASI MANUSIA
v
PENGERTIAN
HAK ASASI MANUSIA
Secara etimologi hak merupakan unsur
normatif yang berfungsi sebagai pedoman prilaku, melindungi kebebasan,
kekebalan, serta menjamin adanya peluang bagi manusia dalam menjadi harkat dan
martabatnya. Sedangkan asasi berarti yang bersifat paling mendasar yang
dimiliki manusia sebagai fitrah, sehingga tak satu pun makhluk
mengintervensinya apalagi mencabutnya.
Dalam
pasal 1 UU. No. 39 Tahun 1999 tentang HAM disebutkan bahwa “hak asasi manusia
adalah seperangkat hak yang melekat pada hakekat dan keberadaan manusia sebagai
makhluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan anugrah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung
tinggi, dan dilindungi oleh Negara, hukum, pemerintah, dan setiap orang demi
kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia”. Hak asasi manusia
adalah hak-hak dasar atau hak-hak pokok yang dimiliki oleh setiap umat manusia
sejak lahir sebagai anugrah Tuhan Yang Maha Esa kepada hamba-Nya, yaitu umat
manusia tanpa terkecuali.
v
PANDANGAN
ISLAM MENGENAI HAM
Seperti
tradisi-tradisi kultural dan keagamaan lainnya, Islam juga memberikan dasar
bagi tegaknya Hak Asasi Manusia dan kehormatan, melalui penjelasannya sendiri
tentang maknanya bagi manusia. Namun dimensi-dimensi tradisi ini harus dilihat
sebagai sesuatu yang terbuka bagi formulasi dan pemikiran kritis di
tengah-tengah penganutnya sendiri lantaran hakikat keanekaragaman yang inheren
dan permanen dalam tradisi itu sendiri. Dengan kata lain, dalam masyarakat
Muslim tidak hanya terdapat persamaan dan perbedaan dalam persepsi dan praktik
Hak Asasi dan Martabat Manusia, tetapi juga kemungkinan untuk
perubahan-perubahan dalam hal tersebut.
Acuan Hak Asasi
Manusia ini secara umum dianggap sebagai pandangan universal yang sekuler
tentang kemanusiaan sekaligus seruan betapa penting dan mendesaknya proteksi
terhadap hak-hak dasar bagi semua manusia di manapun di penjuru dunia ini.
Persepsi semacam ini biasanya muncul dari kenyataan bahwa artikulasi acuan Hak
Asasi Manusia saat ini lahir dari pengalaman masyarakat Barat sejak abad ke-18,
terutama sebagai bagian dari perjuangan untuk melindungi individu dari
kekuasaan negara. Sebagai model yang sama dengan negara-bangsa Eropa yang
kemudian “diuniversalkan” melalui kolonialisme, dan masih menjadi bentuk
dominan organisasi politik di seluruh dunia, maka acuan Hak Asasi Manusia yang
berevolusi untuk menjawab realitas tersebut sudah menjadi keharusan di manapun.
Akan tetapi, persoalannya adalah bagaimana acuan Hak Asasi Manusia tersebut
bisa diklaim sebagai sesuatu yang sah dan bisa diterapkan secara universal
tanpa menjelaskan keragaman dan budaya yang besar dan permanen dalam masyarakat
di seluruh dunia.
Untuk menjawab
persoalan yang menantang inilah, kita akan memfokuskan diri pada upaya
“negosiasi” hubungan yang kompleks dan keterkaitan antara Islam dan Hak Asasi
Manusia. Beberapa aspek strategis dari proses ini bisa digambarkan sebagai
berikut:
§
Beberapa unsur
Islam, seperti juga agama-agama besar lainnya, tidak begitu saja konsisten
dengan prinsip-prinsip kunci Hak Asasi Manusia yang non diskriminatif. Para
pemikir Islam kontemporer mewarisi visi tentang kebajikan sosial, seperti yang
dinyatakan dalam Syari’ah, yang biasanya diyakini berasal dari Tuhan.
Ketidaksesuaian yang tampak ini diperkuat oleh persepsi tentang acuan Hak Asasi
Manusia sebagai sesuatu yang benar-benar didasarkan atas visi universal yang
sekuler tentang kemanusiaan. Ketegangan antara agama dan Hak Asasi Manusia
terutama disuarakan dalam dunia Islam karena peran kuat Islam dalam kehidupan
pribadi dan publik, bahkan di negara-negara yang secara formal mengklaim diri
mereka sekuler.
§
Sistem Hak
Asasi Manusia internasional telah mencoba membuat norma-norma ini masuk ke
dalam Hukum Internasional. Namun selama tidak adanya mekanisme internasional
yang mumpuni untuk menegakkan nilai-nilai Hak Asasi Manusia melawan keinginan
pemerintah nasional, para pembela Hak Asasi Manusia masih menghadapi masalah
bagaimana memotivasi rakyat kebanyakan negara-bangsa untuk menekan pemerintah
mereka agar mengesahkan dan menegakkan kesepakatan-kesepakatan Hak Asasi
Manusia. Karena besar kemungkinan pemerintah akan melawan upaya-upaya semacam
ini, penegakan Hak Asasi Manusia juga harus mengembangkan jawaban-jawaban yang
efektif terhadap argumen-argumen yang sekiranya akan digunakan oleh elite
penguasa, misalnya alasan-alasan yang didasarkan atas tradisi keagamaan untuk
menolak upaya penegakan dan penerapan norma-norma Hak Asasi Manusia
internasional secara universal.
§
Kekuatan-kekuatan
Barat telah memanfaatkan konsep-konsep Barat tentang Hak Asasi Manusia sebagai
dalih bagi dominasi dan eksploitasi kolonial dan pascakolonial terhadap dunia
Islam. Akibatnya, paradigma Hak Asasi Manusia umumnya dianggap oleh masyarakat
Islam sebagai usaha Barat untuk memaksakan nilai-nilai mereka demi mengalahkan
nilai-nilai tradisional Islam.
Tujuan Islam dan Hak Asasi Manusia ini adalah meneliti dan berusaha untuk
merekonsiliasi ketegangan-ketegangan tersebut di atas serta
ketegangan-ketegangan lain dalam hubungan antara Islam dan Hak Asasi Manusia,
baik pada dataran teoritis, konsep, politik, maupun praktik. Salah satu unsur
utama pendekatan strategis ini adalah usaha untuk menyediakan kredibilitas
murni bagi paradigma Hak Asasi Manusia di tengah-tengah masyarakat Muslim,
serta membujuk masyarakat umum agar menerima Hak Asasi Manusia ini sebagai
bagian integral tradisi agama dan kebudayaan mereka, bukan sebagai pemaksaan
“Barat”. Dengan kata lain, ini berusaha membantu umat Islam untuk menerima
sekaligus meningkatkan dan melindungi Hak Asasi Manusia melalui perspektif
Islam.
Untuk itu, perlu sekali mengetahui apa yang spesifik dan universal dalam
Islam, mengetahui apa yang ada di dalam tradisi dan hubungannya dengan
tradisi-tradisi lain. sebaliknya, akan menyesatkan bila melihat tradisi agama
besar seperti Islam sebagai sesuatu yang benar-benar monolitik dan identik
dengan visi sekuler atau agama lain tentang Hak Asasi Manusia atau martabat
kemanusiaan. Meski demikian, tidak benar pula bila menganggap Islam sama sekali
tidak memiliki kesatuan batin, atau benar-benar berbeda dan tidak sejalan
dengan sistem-sistem nilai lain, baik nilai-nilai keagamaan maupun bukan. Untuk
menghindari kedua pandangan yang ekstrim ini, kami menekankan sebuah pendekatan
yang seimbang, yang mengakui dan menghargai arti penting makna Islam dalam
berbagai konteks, di samping juga mencari hubungan yang produktif antara Islam
dan acuan Hak Asasi Manusia.
v Hubungan antara HAM dengan Islam
Hak Asasi Manusia dalam islam
tertuang secara transenden untuk kepentingan manusia, lewat syariah islam yang
diturunkan melalui wahyu. Menurut syariah, manusia adalah makhluk bebas yang
mempunyai tugas dan tanggung jawab dan karena ia juga mempunyai hak dan
kebebasan. Dasarnya adalah keadilan yang ditegakkan atas dasar persamaan atau
egaliter, tanpa pandang bulu. Artinya, tugas yang diemban tidak akan terwujud
tanpa adanya kebebasan sementara kebebasan secara eksistensial tidak terwujud
tanpa adanya tanggung jawab itu sendiri.
Sistem HAM Islam mengandung
prinsip-prinsip dasar tentang persamaan, kebebasan dan penghormatan terhadap
sesama manusia. Persamaan artinya Islam memandang semua manusia sama dan
mempunyai kedudukan yang sama, satu-satunya keunggulan yang dinikmati seorang
manusia atas manusia lainnya hanya ditentukan oleh tingkat ketakwaannya. Hal
ini sesuai dengan firman Allah dalam surat Al-Hujurat ayat 13, yang artinya
sebagai berikut :
“Hai Manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari laki-laki dan
permpuan dan kamu jadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu
saling mengenal. Sesungguhnya
yang paling mulia diantara kaum adalah yang paling takwa.”
Sedangkan kebebasan merupakan elemen penting dalam ajaran islam. Kehadiran
islam memberikan jaminan pada kebebasan manusia agara terhindar dari
kesia-siaan dan tekanan, baik yang berkaitan dengan masalah agama, politik dan
ideologi. Pada dasarnya HAM dalam islam terpusat pada lima hal pokok yang
terangkum dalam al-dloruriyat al-khomsah atau yang disebut juga al-huquq
al-insaniyah fi al-islam (hak-hak asasi manusia dalam islam). Konsep itu
mengandung lima hal pokok yang harus dijaga oleh setiap individu yaitu hifdzu
al-din (penghormatan atas kebebasan beragama), hifdza al-mal (penghormatan atas
harta benda), hifdzu al-nafs wa al-ird(penghormatan atas jiwa, hak hidup dan
kehormatan individu) hifdzu al-‘aql (penghormatan atas kebebasan berpikir) dan
hifdzu al-nasl (keharusan untuk menjaga keturunan). Kelima pokok inilah yang
harus dijaga oleh setiap umat islam supaya menghasilkan tatanan kehidupan yang
lebih manusiawi, berdasarkan atas penghormatan individu atas individu, individu
dengan masyarakat, masyarakat dengan Negara dan komunitas agama dengan
komunitas agama yang lainnya.
v Perlindungan Islam terhadap Hak Asasi Manusia
Adapun hak-hak asasi manusia yang
dilindungi oleh hukum islam
1. Hak Hidup
Allah menjamin kehidupan,
diantaranya dengan melarang pembunuhan dan meng-qishas pembunuh (lihat QS. 5:
32, QS. 2: 179). Bahkan hak mayit pun dijaga oleh Allah. Misalnya hadist nabi: "Apabila
seseorang mengkafani mayat saudaranya, hendaklah ia mengkafani dengan
baik." Atau "Janganlah kamu mencaci-maki orang yang sudah
mati. Sebab mereka telah melewati apa yang mereka kerjakan." (Keduanya
HR. Bukhari).
Hak hidup dibagi atas beberapa hak antara lain:
A. Hak Pemilikan
Islam menjamin hak pemilikan yang sah dan mengharamkan penggunaan cara
apapun untuk mendapatkan harta orang lain yang bukan haknya, sebagaimana firman
Allah: "Dan janganlah sebagian kamu memakan harta sebagian yang lain
diantara kamu dengan jalan bathil dan janganlah kamu bawa urusan harta itu
kepada hakim agar kamu dapat memakan sebagian harta benda orang lain itu dengan
jalan berbuat dosa padahal kamu mengetahuinya." (QS. 2: 188). Oleh karena itulah Islam melarang riba
dan setiap upaya yang merugikan hajat manusia.
B. Hak Berkeluarga
Allah menjadikan perkawinan sebagai
sarana mendapatkan ketentraman. Bahkan Allah memerintahkan para wali
mengawinkan orang-orang yang bujangan di bawah perwaliannya (QS. 24: 32). Allah
menentukan hak dan kewajiban sesuai dengan fitrah yang telah diberikan pada
diri manusia dan sesuai dengan beban yang dipikul individu.
Pada tingkat negara dan keluarga
menjadi kepemimpinan pada kepala keluarga yaitu kaum laki-laki. Inilah yang
dimaksudkan sebagai kelebihan laki-laki atas wanita (QS. 4: 34). Tetapi dalam
hak dan kewajiban masing-masing memiliki beban yang sama. "Dan para
wanita mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang
ma’ruf, akan tetapi para suami mempunyai satu tingkatan kelebihan dari
istrinya." (QS. 2: 228)
C. Hak Keamanan
Dalam Islam, keamanan tercermin
dalam jaminan keamanan mata pencaharian dan jaminan keamanan jiwa serta harta
benda. Firman Allah: "Allah yang telah memberi makanan kepada mereka
untuk menghilangkan lapar dan mengamankan mereka dari ketakutan." (QS.
Quraisy: 3-4).
Diantara jenis keamanan adalah
dilarangnya memasuki rumah tanpa izin (QS. 24: 27). Jika warga negara tidak
memiliki tempat tinggal, negara berkewajiban menyediakan baginya. Termasuk
keamanan dalam Islam adalah memberi tunjangan kepada fakir miskin, anak yatim
dan yang membutuhkannya. Oleh karena itulah, Umar bin Khattab menerapkan
tunjangan sosial kepada setiap bayi yang lahir dalam Islam baik miskin ataupun
kaya. Dia berkata: "Demi Allah yang tidak ada sembahan selain Dia,
setiap orang mempunyai hak dalam harta negara ini, aku beri atau tidak aku
beri." (Abu Yusuf dalam Al-Kharaj).
d. Hak Keadilan
Diantara hak setiap orang adalah hak
mengikuti aturan syari’ah dan diberi putusan hukum sesuai dengan syari’ah (QS.
4: 79). Dalam hal ini juga hak setiap orang untuk membela diri dari tindakan
tidak adil yang dia terima. Firman Allah swt: "Allah tidak menyukai
ucapan yang diucapkan terus-terang kecuali oleh orang yang dianiaya." (QS.
4: 148).
Merupakan hak setiap orang untuk
meminta perlindungan kepada penguasa yang sah yang dapat memberikan
perlindungan dan membelanya dari bahaya atau kesewenang-wenangan. Bagi penguasa
muslim wajib menegakkan keadilan dan memberikan jaminan keamanan yang cukup.
Sabda nabi saw: "Pemimpin itu sebuah tameng, berperang dibaliknya dan
berlindung dengannya." (HR. Bukhari dan Muslim).
e. Hak Saling Membela dan Mendukung
Kesempurnaan iman diantaranya
ditunjukkan dengan menyampaikan hak kepada pemiliknya sebaik mungkin, dan
saling tolong-menolong dalam membela hak dan mencegah kedzaliman. Bahkan rasul
melarang sikap mendiamkan sesama muslim, memutus hubungan relasi dan saling
berpaling muka. Sabda nabi saw: "Hak muslim terhadap muslim ada lima:
menjawab salam, menjenguk yang sakit, mengantar ke kubur, memenuhi undangan dan
mendoakan bila bersin." (HR. Bukhari).
f. Hak Keadilan dan Persamaan
Allah mengutus rasulullah untuk
melakukan perubahan sosial dengan mendeklarasikan persamaan dan keadilan bagi
seluruh umat manusia (lihat QS. Al-Hadid: 25, Al-A’raf: 157 dan An-Nisa: 5).
Manusia seluruhnya sama di mata hukum. Sabda nabi saw: "Seandainya Fathimah
anak Muhammad mencuri, pasti aku potong tangannya." (HR. Bukhari dan
Muslim).
Pada masa Rasulullah banyak kisah
tentang kesamaan dan keadilan hukum ini. Misalnya kasus putri bangsawan dari
suku Makhzum yang mencuri lalu dimintai keringanan hukum oleh Usamah bin Zaid,
sampai kemudian rasul menegur dengan: "... Apabila orang yang
berkedudukan di antara kalian melakukan pencurian, dia dibiarkan. Akan tetapi
bila orang lemah yang melakukan pencurian, mereka memberlakukan hukum
kriminal..."
2. Hak Kebebasan Beragama dan
Kebebasan Pribadi
Kebebasan pribadi adalah hak paling
asasi bagi manusia, dan kebebasan paling suci adalah kebebasan beragama dan
menjalankan agamanya, selama tidak mengganggu hak-hak orang lain. Firman Allah:
"Dan seandainya Tuhanmu menghendaki, tentulah beriman orang di muka
bumi seluruhnya. Apakah kamu memaksa manusia supaya mereka menjadi orang
beriman semuanya?" (QS. 10: 99).
Untuk menjamin kebebasan kelompok,
masyarakat dan antara negara, Allah memerintahkan memerangi kelompok yang
berbuat aniaya terhadap kelompok lain (QS. 49: 9). Begitu pula hak beribadah
kalangan non-muslim. Khalifah Abu Bakar menasehati Yazid ketika akan memimpin
pasukan: "Kamu akan menemukan kaum yang mempunyai keyakinan bahwa
mereka tenggelam dalam kesendirian beribadah kepada Allah di biara-biara, maka
biarkanlah mereka." Khalid bin Walid melakukan kesepakatan dengan
penduduk Hirah untuk tidak mengganggu tempat peribadahan (gereja dan sinagog)
serta tidak melarang upacara-upacaranya.
3. Hak Bekerja
Islam tidak hanya menempatkan
bekerja sebagai hak tetapi juga kewajiban. Bekerja merupakan kehormatan yang
perlu dijamin. Nabi saw bersabda: "Tidak ada makanan yang lebih baik
yang dimakan seseorang daripada makanan yang dihasilkan dari usaha tangannya
sendiri." (HR. Bukhari). Dan Islam juga menjamin hak pekerja, seperti
terlihat dalam hadist: "Berilah pekerja itu upahnya sebelum kering
keringatnya." (HR. Ibnu Majah).
Daftar
Pustaka
ü Amal,
Taufik Adnan, 2004. Politik Syariat
Islam. Jakarta, Pustaka Alvabet.
ü Daud, Ali Muhammad, 1984. Kedudukan Hukum Islam Dalam Sistem Hukum Islam Indonesia. JAkarta,
Yayasan Ar Risalah.
ü Husain, Syekh Syaukat, 1999. Hak Asasi MAnusia dalam Islam. Jakarta, Gema Insani Press.