Tuesday, December 2, 2014

PENERAPAN SYARI'AT ISLAM & HAM



v  PENGERTIAN SYARI’AT ISLAM

Secara etimologis, syari’ah artinya “jalan ke mata air”, berasal  kata syara’a, “yang ditetapkan dan didekritkan”. Di dalam al-quran, kata syari’ah muncul satu kali di dalam surah Al-Jasiyah ayat 18 dengan pengertian jalan yang mesti diikuti. Kata bentukan syir’ah juga digunakan dalam surah Al-Maidah ayat 48 dengan pengertian jalan. Sementara akar kata syara’a muncul dua kali di dalam Al-qur’an, dengan tuhan sebagai subyeknya (pada surah Asy-Syura ayat 13) dan dalam kaitannya dengan orang-orang yang membangkang kepada tuhan (surah Al-A’raf ayat 163)

Muhammad Yusron Hadi, dalam sebuah tulisannya  yang berjudul Syariat Islam dan Fitrah Manusia, mengutip Muhammad Salam Madkur mendefinisikan syariat sebagai “hukum yang telah ditetapkan oleh Allah bagi hamba-hamba-Nya, agar mereka menjadi orang yang beriman dan beramal shaleh dalam kehidupannya, baik yang berkaitan dengan perbuatan, akidah, maupun akhlak.” (Al-Fiqh Al-Islami, 1/11). Definisi di atas senada dengan pengertian syariat menurut Manna’ Khalil al-Qathan, “syariat adalah apa-apa yang telah ditetapkan oleh Allah Swt bagi para hamba-Nya, baik mengenai akidah, ibadah, akhlak, muamalat maupun tatanan kehidupan lainnya, dengan segala cabangnya yang bermacam-macam guna merealisasikan kebahagiaan baik didunia maupun di akhirat.” (At-Tasyri’ wa al-Fiqh fi al-Islam, hal 10).

Sedangkan menurut Mahmud Syaltut, syariat adalah “peraturan-peraturan yang ditetapkan Allah bagi hamba-Nya untuk diikuti dalam hubungannya dengan Allah, dengan saudaranya sesama muslim, dengan saudaranya sesama manusia, dan berhubungan dengan alam semesta serta berhubungan dengan kehidupan.” (Al-Islam Aqidatun wa Syarii’atun, hal 12)

Dari definisi di atas dapat disimpulkan bahwa makna syariat mengandung dua arti: Pertama, seluruh ajaran agama yang mencakup akidah, ibadah, akhlak, hukum dan muamalah. Dengan kata lain, syariat mencakup ushul dan furu’, akidah dan amal, serta teori dan aplikasi. Ia mencakup seluruh sisi keimanan (akidah), sebagaimana ia mencakup sisi lain seperti ibadah, muamalah, dan akhlak yang dibawa oleh Islam serta dirangkum dalam Al-Quran dan As-Sunnah untuk kemudian dijelaskan oleh ulama fikih, akidah dan akhlak. Kedua, sisi hukum amaliah di dalam agama, seperti ibadah dan muamalah yang mencakup hubungan dengan Allah dan mencakup juga urusan keluarga, masyarakat, ummat, negara, hukum dan hubungan luar negeri.
Sebagai hukum Tuhan, syariat menempati posisi paling penting dalam masyarakat islam. Sebagian umat islam meyakini syariat mencakup seluruh aspek kehidupan manusia, baik secara individual  maupun kolektif.

v  JENIS-JENIS SYARI’AT ISLAM

Syari’at Islam mempunyai 2 sumber hukum dalam menetapkan undang-undangnya, yaitu: Al-Qur’an dan Hadits, walaupun sebagian ‘ulama’ memasukkan ijma’ dan qiyas sebagai sumber hukum syari’at Islam. Segala ketetapan di dalam agama Islam yang bersifat perintah, anjuran, larangan, pemberian pilihan atau yang sejenisnya dinamakan sebagai hukum-hukum syara’ atau hukum-hukum syari’at atau hukum-hukum agama.

Hukum syara’ adalah seruan Syari’ (pembuat hukum) yang berkaitan dengan aktivitas hamba (manusia) berupa tuntutan, penetapan dan pemberian pilihan. Dikatakan Syari’ tanpa menyebutkan Allah swt sebagai pembuat hukum karena agar sunnah Nabi Muhammad saw termasuk didalamnya. Dikatakan pula “aktivitas hamba”, tidak menggunakan mukallaf (orang yang dibebani hukum), agar hukum itu mencakup anak kecil dan orang gila.

Menurut H.M. Rasyidi, bagian-bagian hukum islam adalah:
1.      Munaakahat
Munaakahat adalah hukum yang mengatur segala sesuatu yang berhubungan dengan perkawinan, perceraian serta akiba-akibatnya.
2.      Wirasah
Wirasaha adalah hukum yang mengatur segala masalah yang berhubungan denga pewaris, ahli waris, harta peninggalan serta pembagian warisan. Hukum pewarisan ini juga disebut fara’id.
3.      Muamalat dalam arti khusus
Yakni hukum yang mengatur masalah kebendaan dan hak-hak atas benda, tata hubungan manusia dalam soal jual-beli, sewa-menyewa, pinjam-meminjam, perserikatan dan sebagainya.
4.      Jinayat
Yakni hukum yang memuat aturan-aturan mengenai perbuatan-perbuatan yang diancam dengan hukuman, baik dalam jarimah hudud (perbuatan pidana yang telah ditentukan bentuk dan batas hukumannya dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah) maupun jarimah ta’sir (perbuatan pidana yang bentuk dan batas hukumannya ditentukan oleh penguasa sebagai pelajaran bagi pelakunya).
5.      Al-ahkam as-sulthaniyah
Yakni hukum yang mengatur soal-soal yang berhubungan dengan kepala Negara, pemerintahan, baik pemerintah pusat maupun daerah, tentara, pajak dan sebagainya.
6.      Siyar
Yakni hukum yang mengatur urusan perang dan damai, tata hubungan dengan pemeluk agama dan Negara lain.
7.      Mukhaassamat
Yakni hukum yang mengatur peradilan, kehakiman dan hukum acara.
Sedangkan sistematika hukum islam terdiri dari:
a.      Al-ahkam al-syahshiyah (hukum perorangan/keluarga) mencakup masalah perkawinan dan waris. Yang berkaitan dengan hukum ini berjumlah 70 ayat.
b.      Al-ahkum al-madaniyah (hukum perdata), hukum ini berkaitan dengan transaksi jual beli, perburuhan, utang piutang, jaminan dan gadai. Ayat yang berkaitan dengan masalah ini berjumlah 70 ayat.
c.       Al-ahkam al-jinaiyah (hukum pidana), hukum ini berkaitan dengan pelanggaran dan kejahatan. Ayat yang berkaitan dengan masalah ini berjumlah 30 ayat.
d.     Al-ahkam al-murafa’ah (hukum acara), hukum ini berkenaan dengan peradilan, kesaksian, pembuktian dan sumpah. Ayat yang berkaitan dengan masalah ini berjumlah 13 ayat.
e.      Al-ahkam al-dusturiyah (hukum tata Negara), hukum ini berkaitan dengan sistem pemerintahan dan prinsip-prinsip pengaturannya. Ayat yang berhubungan dengan masalah ini berjumlah 10 ayat.
f.        Al-ahkam al-dauliyah (hukum internasional), hukum ini berkaitan dengan hubungan antar Negara, kerja sama dan perdamaian
g.      Al-ahkam al-iqtishadiyah wal amaliyah (hukum perekonomian dan keuangan), hukum berkaitan dengan pendapatan Negara, baitul maal, dan pendistribusiannya pada masyarakat. Ayat yang berkaitan dengan persoalan ini berjumlah 10 ayat (Abdul Khalaf Wahab, 1973:32-34)

v  PENERAPAN SYARI’AT ISLAM DI INDONESIA

Penerapan syariat islam di Indonesia sudah berlaku sejak lama, bahkan saat Belanda masih menjajah Indonesia. Pada saat VOC masih berdiri, pengadilan terpisah menjadi 2, yaitu pengadilan untuk warga pribumi dan untuk orang eropa. Untuk golongan pribumi, hukum yang diterapkan adalah hukum adat. Sedangkan untuk orang eropa dibentuk pengadilan umum.

Ketika VOC bubar, Belanda mengeluarkan dekrit Kerajaan 1882 tentang pembentukan pengadilan agama di Jawa dan Madura. Pengadilan agama ini memiliki yurisdiksi atas hukum kekeluargaan dan hukum waris islam serta wakaf. Perangkat pengadilan ini terdiri dari seorang ketua yang dipilih dari pegawai pengadilan pribumi dan 3-8 qadli (hakim) sebagai anggota yang dipilih oleh Gubernur Jendral Hindia Belanda

Sejak proklamasi kemerdekaan Indonesia pada tanggal 17 agustus 1945, Indonesia mewarisi sistem hukum yang ditingalkan oleh Belanda. Karena itu, keinginan untuk mereformasi hukum-hukum peninggalan Belanda muncul. Hukum yang coba diperbaharui adalah hukum perkawinan mulai dari tahun 1945 hingga tahun 1973. Namun upaya memperbaharui hukum ini menimbulkan berbagai konflik dan tidak dapat mencapai kata sepakat. Salah satu undang-undang yang berhasil dibuat dalam periode tersebut adalah Undang-Undang Pencatatan Perkawinan dan Perceraian Muslim (1946).  Pada tahun 1974 diberlakukan Undang-Undang Hukum perkawinan yang berlaku untuk seluruh warga Indonesia, termasuk non-muslim. Dalam undang-undang tersebut tercantum pula mengenai izin cerai dan poligami yang sempat memunculkan sejumlah kontroversi.

Penerapan Syariat Islam di Indonesia menghadapi tantangan (challenge) yang cukup serius. Masalahnya, Indonesia ditakdirkan lahir sebagai bangsa yang heterogen (warna-warni) bukan homogen (satu warna) dan itu direpresentasi oleh Pancasila dan UUD 1945 sebagai basic Negara dan konstitusi. Akibatnya, seluruh warga negara Indonesia berkedudukan dan berhak mendapat perlindungan dan perlakuan yang sama dari Negara tanpa memandang back ground/ latar belakang agama yang dianutnya.

Persoalan yang cukup serius di sini adalah masih banyaknya masyarakat, tokoh bangsa dan kaum intelektual yang memiliki kekhawatiran yang amat tinggi atas penerapan syariat  Islam. Mereka khawatir penerepannya akan melibas-menafikan keserbanekaan yang ada di negeri ini. Kondisi inilah  yang menjelaskan mengapa pendekatan politik-legal penerapan Syariat Is lam di Indonesia selalu mendapat tantangan, bukan hanya dari kalangan non-muslim, bahkan dari kalangan tokoh-tokoh Islam sendiri. Taruhannya sangat serius yaitu eksisnya Indonesia sebagai bangsa kokoh bersatu. Maka, banyak tokoh-tokoh Islam atau organisasi Islam yang mengambil jalan panjang dengan transformasi sosial. Artinya, masyarakat –lewat lembaga-lembaga dan nilai-nilai social- terus dikondisikan untuk semakin Islami. Akhirnya kelompok ini memiliki idealism untuk mencegah pendekatan politik-kenegaraan dalam penerapan syariat Islam, karena menurut mereka rakyat Indonesia akan menjalankan syariat Islam dengan sendirinya.

HAK ASASI MANUSIA

v  PENGERTIAN HAK ASASI MANUSIA

Secara etimologi hak merupakan unsur normatif yang berfungsi sebagai pedoman prilaku, melindungi kebebasan, kekebalan, serta menjamin adanya peluang bagi manusia dalam menjadi harkat dan martabatnya. Sedangkan asasi berarti yang bersifat paling mendasar yang dimiliki manusia sebagai fitrah, sehingga tak satu pun makhluk mengintervensinya apalagi mencabutnya.

Dalam pasal 1 UU. No. 39 Tahun 1999 tentang HAM disebutkan bahwa “hak asasi manusia adalah seperangkat hak yang melekat pada hakekat dan keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan anugrah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi, dan dilindungi oleh Negara, hukum, pemerintah, dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia”. Hak asasi manusia adalah hak-hak dasar atau hak-hak pokok yang dimiliki oleh setiap umat manusia sejak lahir sebagai anugrah Tuhan Yang Maha Esa kepada hamba-Nya, yaitu umat manusia tanpa terkecuali.

v  PANDANGAN ISLAM MENGENAI HAM

                Seperti tradisi-tradisi kultural dan keagamaan lainnya, Islam juga memberikan dasar bagi tegaknya Hak Asasi Manusia dan kehormatan, melalui penjelasannya sendiri tentang maknanya bagi manusia. Namun dimensi-dimensi tradisi ini harus dilihat sebagai sesuatu yang terbuka bagi formulasi dan pemikiran kritis di tengah-tengah penganutnya sendiri lantaran hakikat keanekaragaman yang inheren dan permanen dalam tradisi itu sendiri. Dengan kata lain, dalam masyarakat Muslim tidak hanya terdapat persamaan dan perbedaan dalam persepsi dan praktik Hak Asasi dan Martabat Manusia, tetapi juga kemungkinan untuk perubahan-perubahan dalam hal tersebut.

                Acuan Hak Asasi Manusia ini secara umum dianggap sebagai pandangan universal yang sekuler tentang kemanusiaan sekaligus seruan betapa penting dan mendesaknya proteksi terhadap hak-hak dasar bagi semua manusia di manapun di penjuru dunia ini. Persepsi semacam ini biasanya muncul dari kenyataan bahwa artikulasi acuan Hak Asasi Manusia saat ini lahir dari pengalaman masyarakat Barat sejak abad ke-18, terutama sebagai bagian dari perjuangan untuk melindungi individu dari kekuasaan negara. Sebagai model yang sama dengan negara-bangsa Eropa yang kemudian “diuniversalkan” melalui kolonialisme, dan masih menjadi bentuk dominan organisasi politik di seluruh dunia, maka acuan Hak Asasi Manusia yang berevolusi untuk menjawab realitas tersebut sudah menjadi keharusan di manapun. Akan tetapi, persoalannya adalah bagaimana acuan Hak Asasi Manusia tersebut bisa diklaim sebagai sesuatu yang sah dan bisa diterapkan secara universal tanpa menjelaskan keragaman dan budaya yang besar dan permanen dalam masyarakat di seluruh dunia.

                Untuk menjawab persoalan yang menantang inilah, kita akan memfokuskan diri pada upaya “negosiasi” hubungan yang kompleks dan keterkaitan antara Islam dan Hak Asasi Manusia. Beberapa aspek strategis dari proses ini bisa digambarkan sebagai berikut:

§     Beberapa unsur Islam, seperti juga agama-agama besar lainnya, tidak begitu saja konsisten dengan prinsip-prinsip kunci Hak Asasi Manusia yang non diskriminatif. Para pemikir Islam kontemporer mewarisi visi tentang kebajikan sosial, seperti yang dinyatakan dalam Syari’ah, yang biasanya diyakini berasal dari Tuhan. Ketidaksesuaian yang tampak ini diperkuat oleh persepsi tentang acuan Hak Asasi Manusia sebagai sesuatu yang benar-benar didasarkan atas visi universal yang sekuler tentang kemanusiaan. Ketegangan antara agama dan Hak Asasi Manusia terutama disuarakan dalam dunia Islam karena peran kuat Islam dalam kehidupan pribadi dan publik, bahkan di negara-negara yang secara formal mengklaim diri mereka sekuler.

§     Sistem Hak Asasi Manusia internasional telah mencoba membuat norma-norma ini masuk ke dalam Hukum Internasional. Namun selama tidak adanya mekanisme internasional yang mumpuni untuk menegakkan nilai-nilai Hak Asasi Manusia melawan keinginan pemerintah nasional, para pembela Hak Asasi Manusia masih menghadapi masalah bagaimana memotivasi rakyat kebanyakan negara-bangsa untuk menekan pemerintah mereka agar mengesahkan dan menegakkan kesepakatan-kesepakatan Hak Asasi Manusia. Karena besar kemungkinan pemerintah akan melawan upaya-upaya semacam ini, penegakan Hak Asasi Manusia juga harus mengembangkan jawaban-jawaban yang efektif terhadap argumen-argumen yang sekiranya akan digunakan oleh elite penguasa, misalnya alasan-alasan yang didasarkan atas tradisi keagamaan untuk menolak upaya penegakan dan penerapan norma-norma Hak Asasi Manusia internasional secara universal.

§     Kekuatan-kekuatan Barat telah memanfaatkan konsep-konsep Barat tentang Hak Asasi Manusia sebagai dalih bagi dominasi dan eksploitasi kolonial dan pascakolonial terhadap dunia Islam. Akibatnya, paradigma Hak Asasi Manusia umumnya dianggap oleh masyarakat Islam sebagai usaha Barat untuk memaksakan nilai-nilai mereka demi mengalahkan nilai-nilai tradisional Islam.

Tujuan Islam dan Hak Asasi Manusia ini adalah meneliti dan berusaha untuk merekonsiliasi ketegangan-ketegangan tersebut di atas serta ketegangan-ketegangan lain dalam hubungan antara Islam dan Hak Asasi Manusia, baik pada dataran teoritis, konsep, politik, maupun praktik. Salah satu unsur utama pendekatan strategis ini adalah usaha untuk menyediakan kredibilitas murni bagi paradigma Hak Asasi Manusia di tengah-tengah masyarakat Muslim, serta membujuk masyarakat umum agar menerima Hak Asasi Manusia ini sebagai bagian integral tradisi agama dan kebudayaan mereka, bukan sebagai pemaksaan “Barat”. Dengan kata lain, ini berusaha membantu umat Islam untuk menerima sekaligus meningkatkan dan melindungi Hak Asasi Manusia melalui perspektif Islam.

Untuk itu, perlu sekali mengetahui apa yang spesifik dan universal dalam Islam, mengetahui apa yang ada di dalam tradisi dan hubungannya dengan tradisi-tradisi lain. sebaliknya, akan menyesatkan bila melihat tradisi agama besar seperti Islam sebagai sesuatu yang benar-benar monolitik dan identik dengan visi sekuler atau agama lain tentang Hak Asasi Manusia atau martabat kemanusiaan. Meski demikian, tidak benar pula bila menganggap Islam sama sekali tidak memiliki kesatuan batin, atau benar-benar berbeda dan tidak sejalan dengan sistem-sistem nilai lain, baik nilai-nilai keagamaan maupun bukan. Untuk menghindari kedua pandangan yang ekstrim ini, kami menekankan sebuah pendekatan yang seimbang, yang mengakui dan menghargai arti penting makna Islam dalam berbagai konteks, di samping juga mencari hubungan yang produktif antara Islam dan acuan Hak Asasi Manusia.

v  Hubungan antara HAM dengan Islam 

Hak Asasi Manusia dalam islam tertuang secara transenden untuk kepentingan manusia, lewat syariah islam yang diturunkan melalui wahyu. Menurut syariah, manusia adalah makhluk bebas yang mempunyai tugas dan tanggung jawab dan karena ia juga mempunyai hak dan kebebasan. Dasarnya adalah keadilan yang ditegakkan atas dasar persamaan atau egaliter, tanpa pandang bulu. Artinya, tugas yang diemban tidak akan terwujud tanpa adanya kebebasan sementara kebebasan secara eksistensial tidak terwujud tanpa adanya tanggung jawab itu sendiri. 

Sistem HAM Islam mengandung prinsip-prinsip dasar tentang persamaan, kebebasan dan penghormatan terhadap sesama manusia. Persamaan artinya Islam memandang semua manusia sama dan mempunyai kedudukan yang sama, satu-satunya keunggulan yang dinikmati seorang manusia atas manusia lainnya hanya ditentukan oleh tingkat ketakwaannya. Hal ini sesuai dengan firman Allah dalam surat Al-Hujurat ayat 13, yang artinya sebagai berikut :

“Hai Manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari laki-laki dan permpuan dan kamu jadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu saling mengenal. Sesungguhnya yang paling mulia diantara kaum adalah yang paling takwa.” 

            Sedangkan kebebasan merupakan elemen penting dalam ajaran islam. Kehadiran islam memberikan jaminan pada kebebasan manusia agara terhindar dari kesia-siaan dan tekanan, baik yang berkaitan dengan masalah agama, politik dan ideologi. Pada dasarnya HAM dalam islam terpusat pada lima hal pokok yang terangkum dalam al-dloruriyat al-khomsah atau yang disebut juga al-huquq al-insaniyah fi al-islam (hak-hak asasi manusia dalam islam). Konsep itu mengandung lima hal pokok yang harus dijaga oleh setiap individu yaitu hifdzu al-din (penghormatan atas kebebasan beragama), hifdza al-mal (penghormatan atas harta benda), hifdzu al-nafs wa al-ird(penghormatan atas jiwa, hak hidup dan kehormatan individu) hifdzu al-‘aql (penghormatan atas kebebasan berpikir) dan hifdzu al-nasl (keharusan untuk menjaga keturunan). Kelima pokok inilah yang harus dijaga oleh setiap umat islam supaya menghasilkan tatanan kehidupan yang lebih manusiawi, berdasarkan atas penghormatan individu atas individu, individu dengan masyarakat, masyarakat dengan Negara dan komunitas agama dengan komunitas agama yang lainnya.

v  Perlindungan Islam terhadap Hak Asasi Manusia
Adapun hak-hak asasi manusia yang dilindungi oleh hukum islam

       1.      Hak Hidup
Allah menjamin kehidupan, diantaranya dengan melarang pembunuhan dan meng-qishas pembunuh (lihat QS. 5: 32, QS. 2: 179). Bahkan hak mayit pun dijaga oleh Allah. Misalnya hadist nabi: "Apabila seseorang mengkafani mayat saudaranya, hendaklah ia mengkafani dengan baik." Atau "Janganlah kamu mencaci-maki orang yang sudah mati. Sebab mereka telah melewati apa yang mereka kerjakan." (Keduanya HR. Bukhari).
Hak hidup dibagi atas beberapa hak antara lain:

A. Hak Pemilikan
Islam menjamin hak pemilikan yang sah dan mengharamkan penggunaan cara apapun untuk mendapatkan harta orang lain yang bukan haknya, sebagaimana firman Allah: "Dan janganlah sebagian kamu memakan harta sebagian yang lain diantara kamu dengan jalan bathil dan janganlah kamu bawa urusan harta itu kepada hakim agar kamu dapat memakan sebagian harta benda orang lain itu dengan jalan berbuat dosa padahal kamu mengetahuinya." (QS. 2: 188). Oleh karena itulah Islam melarang riba dan setiap upaya yang merugikan hajat manusia.

B. Hak Berkeluarga
Allah menjadikan perkawinan sebagai sarana mendapatkan ketentraman. Bahkan Allah memerintahkan para wali mengawinkan orang-orang yang bujangan di bawah perwaliannya (QS. 24: 32). Allah menentukan hak dan kewajiban sesuai dengan fitrah yang telah diberikan pada diri manusia dan sesuai dengan beban yang dipikul individu.
Pada tingkat negara dan keluarga menjadi kepemimpinan pada kepala keluarga yaitu kaum laki-laki. Inilah yang dimaksudkan sebagai kelebihan laki-laki atas wanita (QS. 4: 34). Tetapi dalam hak dan kewajiban masing-masing memiliki beban yang sama. "Dan para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang ma’ruf, akan tetapi para suami mempunyai satu tingkatan kelebihan dari istrinya." (QS. 2: 228)

C. Hak Keamanan
Dalam Islam, keamanan tercermin dalam jaminan keamanan mata pencaharian dan jaminan keamanan jiwa serta harta benda. Firman Allah: "Allah yang telah memberi makanan kepada mereka untuk menghilangkan lapar dan mengamankan mereka dari ketakutan." (QS. Quraisy: 3-4). 

Diantara jenis keamanan adalah dilarangnya memasuki rumah tanpa izin (QS. 24: 27). Jika warga negara tidak memiliki tempat tinggal, negara berkewajiban menyediakan baginya. Termasuk keamanan dalam Islam adalah memberi tunjangan kepada fakir miskin, anak yatim dan yang membutuhkannya. Oleh karena itulah, Umar bin Khattab menerapkan tunjangan sosial kepada setiap bayi yang lahir dalam Islam baik miskin ataupun kaya. Dia berkata: "Demi Allah yang tidak ada sembahan selain Dia, setiap orang mempunyai hak dalam harta negara ini, aku beri atau tidak aku beri." (Abu Yusuf dalam Al-Kharaj).

d. Hak Keadilan
Diantara hak setiap orang adalah hak mengikuti aturan syari’ah dan diberi putusan hukum sesuai dengan syari’ah (QS. 4: 79). Dalam hal ini juga hak setiap orang untuk membela diri dari tindakan tidak adil yang dia terima. Firman Allah swt: "Allah tidak menyukai ucapan yang diucapkan terus-terang kecuali oleh orang yang dianiaya." (QS. 4: 148). 

Merupakan hak setiap orang untuk meminta perlindungan kepada penguasa yang sah yang dapat memberikan perlindungan dan membelanya dari bahaya atau kesewenang-wenangan. Bagi penguasa muslim wajib menegakkan keadilan dan memberikan jaminan keamanan yang cukup. Sabda nabi saw: "Pemimpin itu sebuah tameng, berperang dibaliknya dan berlindung dengannya." (HR. Bukhari dan Muslim).

e. Hak Saling Membela dan Mendukung
Kesempurnaan iman diantaranya ditunjukkan dengan menyampaikan hak kepada pemiliknya sebaik mungkin, dan saling tolong-menolong dalam membela hak dan mencegah kedzaliman. Bahkan rasul melarang sikap mendiamkan sesama muslim, memutus hubungan relasi dan saling berpaling muka. Sabda nabi saw: "Hak muslim terhadap muslim ada lima: menjawab salam, menjenguk yang sakit, mengantar ke kubur, memenuhi undangan dan mendoakan bila bersin." (HR. Bukhari).

f. Hak Keadilan dan Persamaan
Allah mengutus rasulullah untuk melakukan perubahan sosial dengan mendeklarasikan persamaan dan keadilan bagi seluruh umat manusia (lihat QS. Al-Hadid: 25, Al-A’raf: 157 dan An-Nisa: 5). Manusia seluruhnya sama di mata hukum. Sabda nabi saw: "Seandainya Fathimah anak Muhammad mencuri, pasti aku potong tangannya." (HR. Bukhari dan Muslim). 

Pada masa Rasulullah banyak kisah tentang kesamaan dan keadilan hukum ini. Misalnya kasus putri bangsawan dari suku Makhzum yang mencuri lalu dimintai keringanan hukum oleh Usamah bin Zaid, sampai kemudian rasul menegur dengan: "... Apabila orang yang berkedudukan di antara kalian melakukan pencurian, dia dibiarkan. Akan tetapi bila orang lemah yang melakukan pencurian, mereka memberlakukan hukum kriminal..."

       2.   Hak Kebebasan Beragama dan Kebebasan Pribadi
Kebebasan pribadi adalah hak paling asasi bagi manusia, dan kebebasan paling suci adalah kebebasan beragama dan menjalankan agamanya, selama tidak mengganggu hak-hak orang lain. Firman Allah: "Dan seandainya Tuhanmu menghendaki, tentulah beriman orang di muka bumi seluruhnya. Apakah kamu memaksa manusia supaya mereka menjadi orang beriman semuanya?" (QS. 10: 99). 

Untuk menjamin kebebasan kelompok, masyarakat dan antara negara, Allah memerintahkan memerangi kelompok yang berbuat aniaya terhadap kelompok lain (QS. 49: 9). Begitu pula hak beribadah kalangan non-muslim. Khalifah Abu Bakar menasehati Yazid ketika akan memimpin pasukan: "Kamu akan menemukan kaum yang mempunyai keyakinan bahwa mereka tenggelam dalam kesendirian beribadah kepada Allah di biara-biara, maka biarkanlah mereka." Khalid bin Walid melakukan kesepakatan dengan penduduk Hirah untuk tidak mengganggu tempat peribadahan (gereja dan sinagog) serta tidak melarang upacara-upacaranya.

       3.   Hak Bekerja
Islam tidak hanya menempatkan bekerja sebagai hak tetapi juga kewajiban. Bekerja merupakan kehormatan yang perlu dijamin. Nabi saw bersabda: "Tidak ada makanan yang lebih baik yang dimakan seseorang daripada makanan yang dihasilkan dari usaha tangannya sendiri." (HR. Bukhari). Dan Islam juga menjamin hak pekerja, seperti terlihat dalam hadist: "Berilah pekerja itu upahnya sebelum kering keringatnya." (HR. Ibnu Majah).

Daftar Pustaka

ü  Amal, Taufik Adnan, 2004. Politik Syariat Islam. Jakarta, Pustaka Alvabet.

ü  Daud, Ali Muhammad, 1984. Kedudukan Hukum Islam Dalam Sistem Hukum Islam Indonesia. JAkarta, Yayasan Ar Risalah.

ü  Husain, Syekh Syaukat, 1999. Hak Asasi MAnusia dalam Islam. Jakarta, Gema Insani Press.

Lopa, Baharuddin, 1999. Al-Quran dan Hak Azasi Manusia. Yogyakarta, PT. Dana Bakti Prima Yasa.

No comments: