Tuesday, December 2, 2014

INSAN KAMIL DAN KEHIDUPAN PLURALITAS DALAM PANDANGAN ISLAM



BAB 1

PENDAHULUAN

1.1  Latar Belakang
Dalam ilmu tasawuf terdapat konsep yang disebut dengan insan kamil. Insan kamil diartikan sebagai manusia sempurna atau manusia paripurna. Menurut ahli tasawuf falsafi Ibnu ‘arabi dan ‘Abd al-Jilli, insan kamil yang paling sempurna adalah Nabi Muhammad Sallallahu ‘Alaihi Wasallam.
            Khalayak biasanya mengartikan "insan kamil" sebagai manusia sempurna, Sebagai aktualisasi dan contoh yang pernah ada hidup di permukaan bumi ini adalah sosok Rasulullah Muhammad Shallallahu Alaihi Wasallam. Tapi sayang sosok Nabi yang agung ini hanya dilihat dan diikuti dari segi fisik dan ketubuhan beliau saja. Artinya Beliau hanya dilihat secara parsial saja, padahal kita mau membicarakan kesempurnaan beliau. Lalu para pakar Islam dari masa ke masa menulis, menganjurkan, bahkan menjadi perintah yang hampir mendekati taraf "wajib", kepada umat Islam untuk mengikuti contoh "perilaku" Nabi Muhammad.
            Bagaimana konsep insan kamil dalam ilmu tasawuf yang lebih spesifik, akan dijelaskan pada makalah ini.
            Manusia sebagai makhluk Tuhan tidak bisa dipisahkan dari keberagaman dan pluralitas. Keberagaman itu sendiri juga tidak bisa dipisahkan dari kemanusiaan dan ini sudah menjadi ketentuan Allah. Keberagaman dan pluralitas inilah yang menjadi keindahan bagi kemanusiaan itu sendiri. Namun kekerasan bernuansa agama di negara ini telah mengoyak kemanusiaan dengan keberagamannya itu. Seringkali keberagaman agama menjadi background tersendiri akan munculnya konflik-konflik sosial dan akademis.
Sebenarnya terpecahnya islam menjadi beberapa golongan sudah disabdakan oleh Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi Wasallam sendiri. Dalam salah satu haditsnya dikatakan bahwa semakin jauh suatu zaman dari zamannya Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi Wasallam maka Islam akan terpecah semakin banyak dan perselisihan akan semakin tinggi. Ketika kita berefleksi pada zaman sekarang dapat dikatakan validitas hadits tersebut. Karena fenomena sekarang benar menyatakan adanya bukti semakin banyaknya konflik yang dilatarbelakangi oleh agama dan aliran yang dicantumkan melalui banyak media berita.
Akan tetapi, keberadaan generasi muda di sini dan saat ini amat sangat dibutuhkan dalam menjaga toleransi antar beragama serta menjaga kekompakan dalam satu aliran atau agama agar terpecahnya aliran tak lagi menjadi bumerang dalam suatu kehidupan bermasyarakat dan bernegara.

1.2  Rumusan Masalah
1.       Apa pengertian insan kamil?
2.       Bagaimana konsep insan kamil menurut para tokoh tasawuf?
3.       Bagaimana insan kamil dalam Al-qur’an dan hadits?
4.       Bagaimana kedudukan insankamil ?
5.       Bagaimana karakteristik atau ciri-ciri insan kamil ?
6.       Apa pengertian pluralitas?
7.       Apa pengertian pluralitas agama?
8.       Bagaimana pandangan Islam terhadap pluralitas?
9.       Bagaimana pluralitas agama di Indonesia?
10.     Apa pengertian pluralisme dan pluralisme agama?
11.     Bagaimana pandangan Islam terhadap pluralisme?
12.     Bagaimana pro-kontra pluralisme agama di Indonesia?

      1.3 Tujuan
1.      Mengetahui pengertian insan kamil.
2.      Mengetahui konsep insan kamil menurut para tokoh tasawuf.
3.      Mengetahui insan kamil dalam Al-qur’an.
4.      Mengetahui kedudukan insan kamil.
5.     Mengetahui karakteristik insan kamil.
6.      Mengetahui pengertian pluralitas.
7.      Mengetahui pengertian pluralitas agama.
8.      Mengetahui pandangan Islam terhadap pluralitas.
      9.      Mengetahui pluralitas agama di Indonesia.
10.    Mengetahui pengertian pluralisme dan pluralisme agama.
11.    Mengetahui pandangan Islam terhadap pluralisme
12.    Mengetahui pro-kontra pluralisme agama di Indonesia.

BAB 2

PEMBAHASAN

2.1 Pengertian Insan Kamil

Insan kamil berasal dari bahasa Arab, yaitu dari dua kata Insan dan kamil. Secara harfiah, Insan berarti manusia, dan kamil berarti yang sempurna. Dengan demikian, insan kamil berarti manusia yang sempurna.
            Kata insan menunjukkan pada sesuatu yang secara khusus digunakan untuk arti manusia dari segi sifatnya, bukan fisiknya. Dalam bahasa Arab kata insan mengacu kepada sifat manusia yang terpuji seperti kasih sayang, mulia dan lainnya. Selanjutnya kata insan digunakan oleh para filosof klasik sebagai kata yang menunjukkan pada arti manusia secara totalitas yang secara langsung mengarah pada hakikat manusia.
            Adapun kata kamil dapat pula berarti suatu keadaan yang sempurna, dan digunakan untuk menunjukkan pada sempurnanya zat dan sifat, dan hal itu terjadi melalui terkumpulnya sejumlah potensi dan kelengkapan seperti ilmu, dan sekalian sifat yang baik lainnya.
2.1.1 Insan Kamil Menurut Para Tokoh Tasawuf
Beberapa tokoh tasawuf menjelaskan tentang konsep insan kamil dalam ajarannya yaitu:
1.      Insan Kamil Menurut Muhyiddin Ibnu ‘Arabi
      Insan kamil ialah manusia yang sempurna dari segi wujud dan pengetahuannya. Kesempurnaan dari segi wujudnya ialah karena dia merupakan manifestasi sempurna dari citra Tuhan, yang pada dirinya tercermin nama-nama dan sifat Tuhan secara utuh. Adapun kesempurnaan dari segi pengetahuannya ialah karena dia telah mencapai tingkat kesadaran tertinggi, yakni menyadari kesatuan esensinya dengan Tuhan, yang disebut ma’rifat.
            2.      Insan Kamil Menurut ‘Abd Al-Karim Al-Jilli
      Al-Jili merumuskan insan kamil ini dengan merujuk pada diri Nabi Muhammad Shallallahu Alaihi Wasallam sebagai sebuah contoh manusia ideal. Jati diri Muhammad yang demikian tidak semata-mata dipahami dalam pengertian Muhammad Shallallahu Alaihi Wasallam sebagai utusan Tuhan, tetapi juga sebagai nur (cahaya/roh) Ilahi yang menjadi pangkal dan poros kehidupan di jagad raya ini.
      Nur Ilahi kemudian dikenal sebagai Nur Muhammad oleh kalangan sufi, disamping terdapat dalam diri Muhammad juga dipancarkan Allah Subhanahu Wa Ta’ala ke dalam diri Nabi Adam Alaihi Salam. Al-Jili dengan karya monumentalnya yang berjudul al-Insan al-Kamil fi Ma’rifah al-Awakir wa al-Awa’il (Manusia Sempurna dalam Konsep Pengetahuan tentang Misteri yang Pertama dan yang Terakhir) mengawali pembicaraannya dengan mengidentifikasikan insan kamil dengan dua pengertian.
a.     Insan kamil dalam pengertian konsep pengetahuan mengenai manusia yang sempurna. Dalam pengertian demikian, insan kamil terkait dengan pandangan mengenai sesuatu yang dianggap mutlak, yaitu Tuhan. Yang Mutlak tersebut dianggap mempunyai sifat-sifat tertentu, yakni yang baik dan sempurna. Sifat sempurna inilah yang patut ditiru oleh manusia. Seseorang yang makin memiripkan diri pada sifat sempurna dari Yang Mutlak tersebut, maka makin sempurnalah dirinya.
b.    Insan kamil terkait dengan keyakinan bahwa yang memiliki sifat mutlak dan sempurna itu mencakup Asma’ sifat dan hakikatNya.
            Bagi al-Jili, manusia dapat mencapai jati diri yang sempurna melalui latihan rohani dan pendakian mistik, bersamaan dengan turunnya Yang Mutlak ke dalam manusia melalui berbagai tingkat. Latihan rohani ini diawali dengan manusia bermeditasi tentang nama dan sifat-sifat Tuhan, dan mulai mengambil bagian dalam sifat-sifat Illahi serta mendapat kekuasaan yang luar biasa.
      Al-Jili membagi insan kamil atas tiga tingkatan.
1)      Tingkat permulaan (al-bidāyah). Pada tingkat ini insan kamil mulai dapat merealisasikan asma dan sifat-sifat Ilahi pada dirinya.
2)      Tingkat menengah (at-tawasut). Pada tingkat ini insan kamil sebagai orbit kehalusan sifat kemanusiaan yang terkait dengan realitas kasih Tuhan (al-haqāiq ar-rahmāniyah). Sementara itu, pengetahuan yang dimiliki oleh insan kamil pada tingkat ini juga telah meningkat dari pengetahuan biasa, karena sebagian dari hal-hal yang gaib telah dibukakan Tuhan kepadanya.
3)      Tingkat terakhir (al-khitām). Pada tingkat ini insan kamil telah dapat merealisasikan citra Tuhan secara utuh. Dengan demikian pada insan kamil sering terjadi hal-hal yang luar biasa.

2.1.2  Konsep Insan Kamil menurut Al-Qur’an dan Hadits
            Nabi Muhammad Shallallahu Alaihi Wasallam disebut sebagai teladan insan kamil yang tertulis seperti di dalam Q.S. al- Ahdzab/33:21:
“Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan Dia banyak menyebut Allah”.
            Allah Subhanahu Wa Taala tidak membiarkan kita untuk menginterpretasikan tata nilai tersebut semaunya, berstandar seenaknya, tapi juga memberikan kepada kita, Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam yang menjadi uswah hasanah. Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam merupakan insan kamil, manusia paripurna, yang tidak ada satupun sisi-sisi kemanusiaan yang tidak disentuhnya selama hidupnya. Ia adalah ciptaan terbaik yang kepadanya kita merujuk akan akhlaq yang mulia. Sebagaimana firman Allah Subhana Wa Taala:
“Dan sesungguhnya engkau (Muhammad) benar-benar memiliki akhlaq yang mulia.” (QS. Al-Qolam:4)
            Nur atau cahaya yang menjadi sosok diri Muhammad adalah sebagai seorang Rasulullah Rahmatan Lil’alamin. Muhammad adalah nabi akhir zaman dan karena itu menjadi penutup semua nabi terdahulu yang diutus untuk menjadi saksi kehidupan manusia dan pembawa berita tentang kehidupan mendatang di akhirat sesuai dengan firman Allah Subhanahu Wa Taala :
“Sesungguhnya telah datang kepadamu cahaya dari Allah, dan kitab yang menerangkan. Dengan kitab itu Allah menunjuki orang-orang yang mengikuti keridaan-Nya ke jalan keselamatan, dan (dengan kitab itu pula) Allah mengeluarkan orang-orang itu dari gelap gulita kepada cahaya yang terang benderang dengan seizin-Nya, dan menunjuki mereka ke jalan yang lurus.” (Al Maidah 15-16)
Firman Allah itu menjelaskan tentang nur atau cahaya yang menjadi sosok diri Muhammad sebagai seorang Rasulullah Rahmatan Lil’alamin. Muhammad adalah nabi akhir zaman dan karena itu menjadi penutup semua nabi terdahulu yang diutus untuk menjadi saksi kehidupan manusia dan pembawa berita tentang kehidupan mendatang di akhirat.
“Hai Nabi, sesungguhnya Kami mengutusmu untuk menjadi saksi, pembawa kabar gembira dan pemberi peringatan, dan untuk menjadi penyeru kepada agama Allah dengan izin-Nya dan untuk menjadi cahaya yang menerangi. Dan sampaikanlah berita gembira kepada orang-orang mukmin bahwa sesungguhnya bagi mereka karunia yang besar dari Allah.” (Al Ahzab: 45-47).
Rasulullah Shallallahu Alahi Wasallam bersabda sehubungan dengan akhlaq, hati dan lisan:
“Iman seorang hamba tidaklah lurus sehingga lurus hatinya. Dan tidak akan lurus hati seorang hamba sehingga lurus lisannya.” (H.R. Ahmad).
Sehubungan dengan hubungan sosial, beliau bersabda:
“Barangsiapa beriman kepada Allah dan hari akhir maka muliakanlah tetangganya, dan barang siapa beriman kepada Allah dan hari akhir maka muliakanlah tamunya, dan barang siapa beriman kepada Allah dan hari akhir maka berkatalah yang baik atau diam.” (H.R. Bukhari dan Muslim)
Dan masih banyak lagi ibrah lainnya dari kehidupan Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam, yang menunjukkan keagungan dan kemuliaan akhlaq beliau, baik akhlaq terhadap diri sendiri, terhadap sesama manusia, terhadap makhluk lainnya dan tentunya akhlaq terhadap Khaliqnya sebagai insan kamil.

2.1.3 Kedudukan Insan Kamil

 Insan kamil jika dilihat dari segi fisik biologisnya tidak berbeda dengan manusia lainnya. Namun dari segi mental spiritual ia memiliki kualitas-kualitas yang jauh lebih tinggi dan sempurna dibanding manusia lain. Karena kualitas dan kesempurnaan itulah Allah menjadikan insan kamil sebagai khalifah-Nya. Yang dimaksud dengan khalifah bukan semata-mata jabatan pemerintahan lahir dalam suatu wilayah negara (al-khilāfah az-zāhiriyyah) tetapi lebih dikhususkan pada khalifah sebagai wakil Allah (al-khilāfah al-ma’nawiyyah) dengan manifestasi nama-nama dan sifat-Nya sehingga kenyataan adanya Tuhan terlihat padanya.
            Di sisi lain, insan kamil dipandang sebagai orang yang mendapat pengetahuan esoterik yang dikenal dengan pengetahuan rahasia (‘ilm al-asrār), ilmu ladunni atau pengetahuan gaib. Jika seseorang telah dapat mengosongkan aql dan qalbnya dari egoisme, keakuan, keangkuhan, dengan keikhlasan total dan kemudian berusaha keras, dengan menyiapkan diri menjadi murid memohon Allah mengajarkan kepadanya kebenaran, dan dengan aktif ia mengikuti aqal dan qalbunya merangkaikan berbagai realitas yang hadir dalam berbagai dimensinya, maka Allah hadir membukakan pintu kebenaran dan ia masuk ke dalamnya, memasuki kebenaran itu, dan ketika ia keluar, maka ia menjadi dan menyatu dengan kebenaran yang telah dimasukinya. Pengetahuan esoterik adalah karunia (mawhibat) dari Allah, setelah seseorang menempuh penyucian diri (tazkiyah an-nafs).
            Insan kamil juga dipandang sebagai wali tertinggi, atau disebut juga qutb (poros). Dalam struktur spiritual sufi, quthb adalah pemegang pimpinan tertinggi dari para wali. Ia hanya satu orang dalam setiap zaman.
            Dari kajian di atas dapat dipahami bahwa insan kamil adalah wadah terbukanya tabir yang menghalangi hamba dengan-Nya sehingga hamba menyaksikan tanda-tanda kekuasaan dan keagungan-Nya (tajalli) yang berkedudukan sebagai khalifah dan sebagai wali tertinggi (qutb). Sebagai wadah terbukanya tabir yang menghalangi hamba dengan-Nya sehingga hamba menyaksikan tanda-tanda kekuasaan dan keagungan-Nya (tajalli) merupakan sebab tercipta dan lestarinya alam, dalam kedudukannya sebagai khalifah ia adalah wakil Tuhan di muka bumi untuk memanifestasikan kemakmuran, keadilan, dan kedamaian, dan dalam kedudukannya sebagai poros (quthb) .

            2.1.4 Kriteria atau ciri – ciri Insan Kamil
Sifat – sifatnya terdiri dari :
1)       Keimanan
2)       Ketaqwaan
3)       Keadaban
4)       Keilmuan
5)       Kemahiran
6)       Ketertiban
7)       Kegigihan dalam kebaikan dan kebenaran
8)       Persaudaraan
9)       Persepakatan dalam hidup
10)   Perpaduan dalam ummah
Sifat – sifat inilah yang menjamin manusia menjadi sempurna dan mencapai hasanah dalam dunia dan hasanah dalam akhirat.
Cara-cara mencapainya ialah dengan :
1)      Ilmu taubat dengan syarat – syaratnya menghindari dari yang menyebabkan nafsu dengan mengawalnya dengan mendisiplinkan pergaulan dan harta serta mengambilkan yang halal dan membelanjakan dalam perkara halal, kemudian disertai dengan berhemat.
2)      Berjaga – jaga supaya amalan tidak binasa oleh niat-niat yang merobohkannya seperti ria digantikan dengan ikhlas.
3)       Keadaan tergesa-gesa digantikan dengan sabar.
4)       Tidak cermat digantikan dengan sifat cermat menyelamatkan diri daripada kelesuan.
5)      Dengan mengamalkan sifat harap dan takut, maksudnya harap bahwa Allah akan menerima amalan dan menyelamatkan kita, takut kalau-kalau Allah tidak mengampuni kita dan menerima amalan kita.
6)      Mengamalkan sifat puji dan syukur dalam hidup terhadap Allah juga terhadap makhluk yang menjadi wasilah atau perantara sampainya nikmat Allah kepada kita. Puji dan syukur itu dapat berupa rasa gembira dan syukur terhadap nikmat Allah dan lidah mengucapkan kesyukuran, serta dengan melakukan perbuatan – perbuatan yang diridhoi Allah Subhanahu Wa Taala.

2.2 Definisi Pluralitas

Pluralitas berasal dari bahasa inggris “plural” yang berarti banyak, majemuk. Dalam beberapa kamus bahasa Inggris, tedapat tiga pengertian yaitu :
1. pengertian kegerejaan, sebutan untuk orang yang memegang lebih dari satu jabatan dalam struktur kegerejaan, memegang dua jabatan atau lebih secara bersamaan baik bersifat kegerejaan maupun non kegerejaan.
2. pengertian filosofis,sistem pemikiran yang tidak hanya berlandaskan pada satu hal
3. pengertian sosio-politis, mengakui adanya perbedaan dalam segala hal dengan tetap menjunjung tinggi aspek-aspek perbedaan diantara kelompok-kelompok tersebut.
Sedangkan dalam kamus ilmiah popular, pluralitas adalah kejamakan, orang banyak. Atau bisa juga diartikan sebagai keberagaman. Jadi, pluralitas adalah keberadaan dari sejumlah orang atau kelompok dalam satu masyarakat yang berasal dari latar belakang yang berbeda.
Al-Qur’an sendiri juga mengakui adanya pluralitas, yang tercantum dalam Q.S. Ar Rum: 22 :
“Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah penciptaan langit dan bumi dan berlainan bahasamu dan warna kulitmu. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda bagi orang-orang yang mengetahui.”
Ayat ini menunjukkan bahwa keberagaman suku, bangsa, bahasa, warna kulit adalah hal yang menjadi sunnatullah. Inilah yang dikatakan pluralitas menurut islam. Sebagaimana diciptakannya berbagai suku dan budaya di penjuru dunia.

2.2.1 Definisi Pluralitas Agama
Agama berasal dari bahasa sanskerta “a” yang berarti tidak, dan “gama” yang berarti kacau. Jadi, secara etimologi agama adalah sesuatu yang tidak kacau(teratur). Dari segi istilah, agama dapat dirtikan sebagai suatu hal yang mencakup tentang keyakinan (kepercayaan) dan cara-cara peribadatan yang ditujukan kepada Tuhan, serta mengkaji tentang berbagai amalan (tindakan) yang ditujukan kepada sesame manusia.
Dari kedua uraian diatas (pluralitas dan agama), dapat diambil kesimpulan bahwa pluralitas agama adalah suatu keragaman agama yang terkumpul dalam suatu masyarakat tertentu. Seseorang bisa disebut manusia yang berpluralitas (agama) jika dapat berinteraksi positif dalam lingkungan kemajemukan dalam agama tersebut. Dengan kata lain, dalam pluralitas agama, tiap pemeluk agama dituntut untuk mengakui adanya berbagai agama sebagai sunnatullah. Artinya, tidak mungkin bisa disamakan antara satu dengan yang lain. Lebih dari itu, tiap pemeluk agama tidak hanya mengakui adanya perbedaan agama, tapi juga memahami dan menghormati perbedaan tersebut sehingga memunculkan suatu persatuan yang kuat dalam suatu masyarakat tersebut.

2.2.2  Pandangan Islam tentang Keberagaman (pluralitas)
Allah Subhanahu Wa Taala melalui wahyunya telah memberikan petunjuk yang jelas tentang bagaimana seharusnya seorang hamba berinteraksi dengan sesamanya. Begitu juga hal ini telah di contohkan oleh utusan-Nya Muhamad Shallallahu Alaihi Wasallam. Dan fatwa MUI di atas dirasa telah cukup untuk mewakili bagaimana sebenarnya Islam mengajarkan umatnya menyikapi masalah pluralitas.
Dalam hal Aqidah dan Ibadah, umat Islam diperintahkan untuk tidak berkompromi dengan orang kafir. Umat Islam dilarang meyakini kebenaran agama lain selain Islam. Umat Islam dilarang juga mencampuradukan konsep peribadahan dengan agama lain diluar Islam (sinkretisme). Diantara ayat al Qur’an yang membahas masalah ini adalah QS al Kaafirun [109] : 1-6 :
“Katakanlah: Hai orang-orang kafir, Aku tidak akan menyembah apa yang kamu sembah. Dan kamu bukan penyembah Tuhan yang Aku sembah. Dan Aku tidak pernah menjadi penyembah apa yang kamu sembah, Dan kamu tidak pernah (pula) menjadi penyembah Tuhan yang Aku sembah. Untukmu agamamu, dan untukkulah, agamaku.”
Dari awal sampai akhir ayat diatas dengan sangat jelas melarang umat Islam melakukan kompromi Aqidah dan ibadah dengan orang-orang kafir. Umat Islam diperintahkan untuk mengatakan kepada orang kafir bahwa kita bukanlah penyembah dan tidak akan pernah menjadi penyembah apa yang mereka sembah. Sebaliknya, orang kafir bukanlah penyembah dan tidak akan pernah menjadi penyembah apa yang orang Islam sembah.
Penolakan Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam kepada ajakan Quraisy diatas menunjukan bahwa tidak ada kompromi bagi umat Islam dengan agama lain dalam hal Aqidah dan Ibadah. Namun, Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam juga mengajarkan tetap berkompromi dan bergaul dengan masyarakat diluar agama Islam dalam hal-hal yang bersifat sosial kemasyarakatan. Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam tetap berinteraksi (inklusif) dan tidak menutup diri (eksklusif) dengan orang-orang diluar agama Islam.
2.2.3 Pluralitas Agama di Indonesia
Seperti yang diketahui bahwa indonesia terdiri dari berbagai suku, ras, agama dan kebudayaan. Seperti motto negara negara kita Bhinneka Tunggal Ika yang artinya Berbeda-beda tetapi tetap satu. Karena itulah di Indonesia terdapat bermacam macam agama. Yang diakui oleh pemerintah ada 5 agama, yaitu: Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Budha. Islam sendiri menjadi agama yang paling banyak dianut oleh masyarakat Indonesia. Selain kelima agama yang diakui pemerintah tadi masih banyak agama lain yang tidak diakui oleh pemerintah. Setiap warga negara Indonesia diwajibkan untuk memeluk salah satu dari kelima agama yang diakui oleh pemerintah. Sesuai dengan sila 1 pancasila “Ketuhanan Yang Maha Esa”. Setiap warga negara memiliki kebebasan dalam memilih agama yang ingin mereka peluk dan semua diatur dalam Undang-undang. Karena itu seorang warga negara Indonesia tidak boleh dipaksa dalam memilih suatu agama.
Banyak yang pro dan kontra dengan konsep pluralitas agama di Indonesia ini.
            a. Pro pluralitas.
Bagi yang pro pruralitas agama, keberagaman agama ini dianggap sebagai hal yang positif. Ini disebabkan karena keberagaman di Indonesia ini bisa menjadikan Indonesia sebagai contoh yang baik bagaimana kehidupan kerukunan antar agama. Dan keberagaman agama di Indonesia memang berasal dari masa lalu yang tidak bisa dirubah. Sehingga keberagaman ini memang harus dipertahankan dan setiap umat agama harus bisa menghormati umar agama lain. Selain itu bagi kelompok pro prutalitas beranggapan bahwa islam juga harus mencerminkan salah satu ajarannya yakni sikap toleransi. Dengan mencerminkan sikap toleransi ini maka umat Islam juga dapat mencerminkan ajaran agamanya kepada penganut agama lain, bahwa islam itu toleran dan tidak radikal.
Selain itu bagi kelompok pro pluralitas ini mereka juga mengutamakan kesatuan dari NKRI. Sesuai dengan sejarah perumusan sila pancasila pertama bahwa pada saat itu para pendiri bangsa juga sempat berdebat apakah Indonesia akan dijadikan negara Islam atau negara dengan keberagaman agama. Tapi pada akhirnya Indonesia dijadikan negara dengan keberagaman budaya dan agama. Dan kelompok pro pluralitas beranggapan bahwa warisan sejarah dari para pendiri bangsa ini harus dipertahankan. Karena itu setiap kebijakan dalam pemerintahan haruslah menguntungkan semua umat beragama dan jangan hanya menguntungkan satu umat saja.
b. Kontra Pluralitas
Bagi kelompok kontra pluralitas, pluralitas dianggap bisa mengancam kemurnian ajaran suatu agama. Ini disebabkan karena pada dasarnya setiap agama memiliki ajaran masing masing yang berbeda dari agama lain. Dan ketakutan para kelompok kontra pluralitas ini adalah bahwa nantinya ajaran setiap agama akan saling bercampur baur dengan ajaran agama lain. Selain itu jika dilihat dari praktek dilapangan, sangat jelas bahwa pengaplikasian toleransi masih belum dapat dilaksanakan dengan baik. Kerukunan antar umat beragama bisa dibilang masih jauh dari yang diharapkan. Sebagai contoh adalah ketakutan kristenisasi di daerah islam dan islamisasi di daerah kristen membuat setiap penganut agama akan sedikit menutup diri dari penganut agama lain.

2.3 Pengertian Pluralisme dan Pluralisme Agama
Pluralisme (bahasa Inggris: pluralism), terdiri dari dua kata plural (beragam) dan isme (paham) yang berarti beragam pemahaman, atau bermacam-macam paham.
Pluralisme agama adalah sebuah konsep yang mempunyai makna yang luas, berkaitan dengan penerimaan terhadap agama-agama yang berbeda, dan dipergunakan dalam cara yang berlain-lainan pula:
·         Sebagai pandangan dunia yang menyatakan bahwa agama seseorang bukanlah sumber satu-satunya yang eksklusif  bagi kebenaran, dan dengan demikian di dalam agama-agama lain pun dapat ditemukan, setidak-tidaknya, suatu kebenaran dan nilai-nilai yang benar.
·         Sebagai penerimaan atas konsep bahwa dua atau lebih agama yang sama-sama memiliki klaim-klaim kebenaran yang eksklusif sama-sama sahih. Pendapat ini seringkali menekankan aspek-aspek bersama yang terdapat dalam agama-agama.
·         Kadang-kadang juga digunakan sebagai sinonim untuk ekumenisme, yakni upaya untuk mempromosikan suatu tingkat kesatuan, kerja sama, dan pemahaman yang lebih baik antar agama-agama atau berbagai denominasi dalam satu agama.
·         Dan sebagai sinonim untuk toleransi agama, yang merupakan prasyarat untuk ko-eksistensi harmonis antara berbagai pemeluk agama ataupun denominasi yang berbeda-beda.

2.3.1 Pluralisme dalam Pandangan Islam
Dalam pandangan Islam, sikap menghargai dan toleran kepada pemeluk agama lain adalah mutlak untuk dijalankan, sebagai bagian dari keberagaman(pluralitas). Namun anggapan bahwa semua agama adalah sama (pluralisme) tidak diperkenankan, dengan kata lain tidak menganggap bahwa Tuhan yang 'kami' (Islam) sembah adalah Tuhan yang 'kalian' (non-Islam) sembah. Pada 28 Juli 2005, Majelis Ulama Indonesia (MUI) menerbitkan fatwa melarang paham pluralisme dalam agama Islam. Dalam fatwa tersebut, pluralisme didefiniskan sebagai ""Suatu paham yang mengajarkan bahwa semua agama adalah sama dan karenanya kebenaran setiap agama adalah relatif; oleh sebab itu, setiap pemeluk agama tidak boleh mengklaim bahwa hanya agamanya saja yang benar sedangkan agama yang lain salah. Pluralisme juga mengajarkan bahwa semua pemeluk agama akan masuk dan hidup dan berdampingan di surga".
Namun demikian, paham pluralisme ini banyak dijalankan dan kian disebarkan oleh kalangan Muslim itu sendiri. Solusi Islam terhadap adanya pluralisme agama adalah dengan mengakui perbedaan dan identitas agama masing-masing (lakum diinukum wa liya diin).
Tapi solusi paham pluralisme agama diorientasikan untuk menghilangkan konflik dan sekaligus menghilangkan perbedaan dan identitas agama-agama yang ada.

2.3.2 Pro-Kontra Pluralisme Agama di Indonesia

Bangsa Indonesia tak pernah tabu dari adanya keberagaman atau pluralitas. Tetapi berbeda ketika berbicara tentang pluralitas agama yang seringkali menjadi latar belakang terjadinya banyak konflik dalam suatu kehidupan bermasyarakat dan bernegara.
            Paham pluralisme terutama dalam pembahasan ini adalah konsentrasi pada masalah agama memiliki definisi sebuah konsep yang mempunyai makna yang luas, berkaitan dengan penerimaan terhadap agama-agama yang berbeda, dan dipergunakan dalam cara yang berbeda-beda.
Dua orang tokoh pluralis agama, Dr. M. Syafii Anwar (MSA), Direktur The International Centre for Islam and Pluralism (ICIP) dan Budhy Munawar-Rachman (BMR), mantan Direktur Eksekutif Yayasan Paramadina, punya persepsi berbeda mengenai pluralisme. MSA, lebih menekankan pandangan mengenai perbedaan agama-agama atau pluralitas agama-agama sebagai premis paham pluralisme agama. Sementara BMR sebaliknya, ia menganut paham pluralisme berdasarkan pandangan bahwa semua agama itu sama-sama baik dan benar. 
Persepsi yang pertama itu diterima sebagai kenyataan oleh fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI). Tapi pluralisme menurut BMR ditolak, karena pluralisme dinilai sebagai suatu paham. Yang pertama bersifat obyektif, sedangkan yang kedua subyektif.
Fatwa yang dikeluarkan oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI) pada tanggal 28 Juli 2005 untuk memahamkan istilah Pluralisme Agama tersebut adalah suatu paham yang mengajarkan bahwa semua agama adalah sama dan karenanya kebenaran setiap agama adalah relatif, oleh sebab itu setiap pemeluk agama tidak boleh mengklaim bahwa agamanya saja yang benar sedangkan agama yang lain salah, pluralisme juga mengajarkan bahwa semua pemeluk agama akan masuk dan hidup berdampingan di Surga.
Dalam buku Pluralisme Agama: Fatwa MUI yang Tegas dan Tidak Kontroversial dijelaskan tentang sejarah munculnya wacana pluralisme agama yang ada pada abad ke-20 yang dilakukan oleh seorang teolog kristen Jerman bernama Ernest Troeltsch. Dalam buku ini juga dijelaskan tentang kelemahan mendasar yang terdapat dalam paham pluralisme agama. Yaitu, pertama, kaum pluralis mengklaim bahwa pluralisme menjunjung tinggi dan mengajarkan toleransi, tapi justru mereka sendiri yang tidak toleran karena menafikan “kebenaran ekslusif” sebuah agama. Kedua, adanya “pemaksaan” nilai-nilai budaya Barat (westernisasi), terhadap negara-negara belahan di dunia bagian timur dengan berbagai bentuk dan cara.
            Pluralisme agama adalah suatu paham yang melegitimasi dan mendukung kekufuran dan kemusyrikan, sedangkan Islam adalah agama yang benar-benar memurnikan Allah dari perbuatan syirik atau agama yang benar-benar mentauhidkan Allah, “Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik dan Dia mengampuni segala dosa selain dari itu, bagi siapa yang dikehendaki-Nya. Barangsiapa yang menyekutukan Allah, maka sungguh ia telah melakukan dosa yang sangat besar” (QS: An-Nisa:48)
            Dengan ayat ini, sudah jelas bahwa Allah sangat murka dengan kemusyrikan, sedangkan pluralisme agama melegitimasi segala jenis kemungkaran. Pluralisme agama jelas membongkar islam dari konsep dasarnya. Tidak ada lagi konsep mukmin, kafir, syirik, surga, neraka, dan sebagainya. Karena itu mustahil paham pluralisme dapat hidup berdampingan secara damai dengan tauhid Islam.

BAB 3

PENUTUP

            KESIMPULAN

1.      Insan kamil berasal dari bahasa Arab, yaitu dari dua kata Insan dan kamil. Secara harfiah, Insan berarti manusia, dan kamil berarti yang sempurna. Dengan demikian, insan kamil berarti manusia yang sempurna.
2.      Menurut Ibnu ‘Arabi, insan kamil merupakan wadah terbukanya tabir yang menghalangi hamba dengan-Nya sehingga hamba menyaksikan tanda-tanda kekuasaan dan keagungan-Nya (tajalli) Tuhan yang paripurna, sementara disisi lain, ia merupakan miniatur dari segenap jagad raya, karena pada dirinya terproyeksi segenap realitas individual dari alam semesta, baik alam fisika maupun metafisika.
3.      Al-Jili merumuskan insan kamil ini dengan merujuk pada diri Nabi Muhammad Shallallahu Alaihi Wasallam sebagai sebuah contoh manusia ideal.
4.      Dalam Al-Qur’an menerangkan bahwa nabi Muhammad adalah figur insan kamil yang patut dicontoh oleh umat manusia.
5.      Pluralitas dan pluralisme memang sudah selayaknya ditanamkan pada diri setiap manusia. Hal ini mengingat bahwa kedua hal tersebut merupakan hal pokok yang mendasari sikap kerukunan dalam masyarakat. Terlebih jika ditambah kata "agama" dibelakangnya, yang sebagian orang tidak memahami hal tersebut. Sehingga yang ada hanyalah mengakui bahwa agama mereka yang paling benar dan cenderung merendahkan (bahkan kekerasan fisik) agama lain. Memang, meyakini bahwa agama kita yang paling benar itu tidaklah salah, karena itu merupakan keyakinan yang tidak dapat diganggu gugat. Akan tetapi, menganggap remeh agama orang lain sampai-sampai merendahkan pemeluknya adalah sesuatu yang fatal.
6.      Dalam sejarah Islam, Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam sangat menghargai pemeluk agama lain (selama mereka tidak memerangi ataupun merendahkan Islam). Terbukti bahwa antara umat muslim dan nonmuslim kala itu hidup rukun tanpa ada konflik yang berarti. Dengan tetap meyakini agama masing-masing. Perjanjian hudaibiyah menjadi salah satu buktinya.
7.      Walaupun pluralitas agama diakui dalam Islam, tapi kita juga tetap wajib mendakwahkan Islam, terlebih kepada pemeluk agama lain dengan tetap menghargai agama mereka.

DAFTAR PUSTAKA

Ali, Yunasril, Manusia Citra Ilahi, Jakarta: Paramadina, 1997
Asmaran, Pengantar Studi Tasawuf, Jakarta:PT Raja Grafindo Persada, 2002
Asy’arie, Musa, Filsafat Islam Sunnah Nabi dalam Berpikir, Yogyakarta: LESFI,   2002
Imarah, Muhammad. 1999. ISLAM DAN PLURALITAS Perbedaan dan Kemajemukan dalam Bingkai Persatuan. Jakarta : Gema Insani Press.
Husaini, Adian. 2005. Pluralisme Agama: Fatwa MUI yang Tegas dan Tidak Kontroversial.Jakarta: Pustaka al-Kautsar.
M, Zainudin. 2010. Pluralisme Agama. Malang : UIN Maliki.
http://spi2010b.wordpress.com/2012/11/02/insan-kamil

No comments: