BAB 1
PENDAHULUAN
1.1
Latar
Belakang
Dalam ilmu tasawuf terdapat konsep
yang disebut dengan insan kamil. Insan kamil diartikan sebagai manusia sempurna
atau manusia paripurna. Menurut ahli tasawuf falsafi Ibnu ‘arabi dan ‘Abd
al-Jilli, insan kamil yang paling sempurna adalah Nabi Muhammad Sallallahu
‘Alaihi Wasallam.
Khalayak biasanya mengartikan "insan kamil" sebagai manusia sempurna,
Sebagai aktualisasi dan contoh yang pernah ada hidup di permukaan bumi ini
adalah sosok Rasulullah Muhammad Shallallahu Alaihi Wasallam. Tapi sayang sosok
Nabi yang agung ini hanya dilihat dan diikuti dari segi fisik dan ketubuhan
beliau saja. Artinya Beliau hanya dilihat secara parsial saja, padahal kita mau
membicarakan kesempurnaan beliau. Lalu para pakar Islam dari masa ke masa
menulis, menganjurkan, bahkan menjadi perintah yang hampir mendekati taraf
"wajib", kepada umat Islam untuk mengikuti contoh
"perilaku" Nabi Muhammad.
Bagaimana
konsep insan kamil dalam ilmu tasawuf yang lebih spesifik, akan dijelaskan pada
makalah ini.
Manusia
sebagai makhluk Tuhan tidak bisa dipisahkan dari keberagaman dan pluralitas.
Keberagaman itu sendiri juga tidak bisa dipisahkan dari kemanusiaan dan ini
sudah menjadi ketentuan Allah. Keberagaman dan pluralitas inilah yang menjadi
keindahan bagi kemanusiaan itu sendiri. Namun kekerasan bernuansa agama di
negara ini telah mengoyak kemanusiaan dengan keberagamannya itu. Seringkali
keberagaman agama menjadi background tersendiri akan munculnya konflik-konflik
sosial dan akademis.
Sebenarnya
terpecahnya islam menjadi beberapa golongan sudah disabdakan oleh Nabi Muhammad
Shallallahu ‘Alaihi Wasallam sendiri. Dalam salah satu haditsnya dikatakan
bahwa semakin jauh suatu zaman dari zamannya Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi
Wasallam maka Islam akan terpecah semakin banyak dan perselisihan akan semakin
tinggi. Ketika kita berefleksi pada zaman sekarang dapat dikatakan validitas
hadits tersebut. Karena fenomena sekarang benar menyatakan adanya bukti semakin
banyaknya konflik yang dilatarbelakangi oleh agama dan aliran yang dicantumkan
melalui banyak media berita.
Akan
tetapi, keberadaan generasi muda di sini dan saat ini amat sangat dibutuhkan
dalam menjaga toleransi antar beragama serta menjaga kekompakan dalam satu
aliran atau agama agar terpecahnya aliran tak lagi menjadi bumerang dalam suatu
kehidupan bermasyarakat dan bernegara.
1.2
Rumusan
Masalah
1. Apa
pengertian insan kamil?
2. Bagaimana konsep insan kamil menurut
para tokoh tasawuf?
3. Bagaimana
insan kamil dalam Al-qur’an dan hadits?
4. Bagaimana kedudukan
insankamil ?
5. Bagaimana
karakteristik atau ciri-ciri insan kamil ?
6. Apa
pengertian pluralitas?
7. Apa
pengertian pluralitas agama?
8. Bagaimana
pandangan Islam terhadap pluralitas?
9. Bagaimana
pluralitas agama di Indonesia?
10. Apa pengertian
pluralisme dan pluralisme agama?
11.
Bagaimana
pandangan Islam terhadap pluralisme?
12.
Bagaimana
pro-kontra pluralisme agama di Indonesia?
1.3 Tujuan
1. Mengetahui
pengertian insan kamil.
2. Mengetahui
konsep insan kamil menurut para tokoh tasawuf.
3. Mengetahui
insan kamil dalam Al-qur’an.
4. Mengetahui
kedudukan insan kamil.
5. Mengetahui karakteristik insan kamil.
6.
Mengetahui
pengertian pluralitas.
7.
Mengetahui
pengertian pluralitas agama.
8.
Mengetahui
pandangan Islam terhadap pluralitas.
9.
Mengetahui
pluralitas agama di Indonesia.
10. Mengetahui pengertian
pluralisme dan pluralisme agama.
11. Mengetahui pandangan Islam terhadap
pluralisme
12. Mengetahui pro-kontra
pluralisme agama di Indonesia.
BAB 2
PEMBAHASAN
2.1 Pengertian Insan Kamil
Insan kamil berasal dari bahasa
Arab, yaitu dari dua kata Insan dan kamil. Secara harfiah, Insan berarti
manusia, dan kamil berarti yang sempurna. Dengan demikian, insan kamil berarti
manusia yang sempurna.
Kata insan menunjukkan pada sesuatu yang secara khusus digunakan untuk arti
manusia dari segi sifatnya, bukan fisiknya. Dalam bahasa Arab kata insan
mengacu kepada sifat manusia yang terpuji seperti kasih sayang, mulia dan
lainnya. Selanjutnya kata insan digunakan oleh para filosof klasik sebagai kata
yang menunjukkan pada arti manusia secara totalitas yang secara langsung
mengarah pada hakikat manusia.
Adapun kata kamil dapat pula berarti suatu keadaan yang sempurna, dan digunakan
untuk menunjukkan pada sempurnanya zat dan sifat, dan hal itu terjadi melalui
terkumpulnya sejumlah potensi dan kelengkapan seperti ilmu, dan sekalian sifat
yang baik lainnya.
2.1.1
Insan Kamil
Menurut Para Tokoh Tasawuf
Beberapa tokoh tasawuf menjelaskan tentang konsep
insan kamil dalam ajarannya yaitu:
1. Insan Kamil
Menurut Muhyiddin Ibnu ‘Arabi
Insan kamil ialah manusia yang sempurna dari segi wujud dan pengetahuannya.
Kesempurnaan dari segi wujudnya ialah karena dia merupakan manifestasi sempurna
dari citra Tuhan, yang pada dirinya tercermin nama-nama dan sifat Tuhan secara
utuh. Adapun kesempurnaan dari segi pengetahuannya ialah karena dia telah
mencapai tingkat kesadaran tertinggi, yakni menyadari kesatuan esensinya dengan
Tuhan, yang disebut ma’rifat.
2. Insan Kamil
Menurut ‘Abd Al-Karim Al-Jilli
Al-Jili merumuskan insan kamil ini dengan merujuk pada diri Nabi Muhammad Shallallahu
Alaihi Wasallam sebagai sebuah contoh manusia ideal. Jati diri Muhammad yang
demikian tidak semata-mata dipahami dalam pengertian Muhammad Shallallahu
Alaihi Wasallam sebagai utusan Tuhan, tetapi juga sebagai nur (cahaya/roh)
Ilahi yang menjadi pangkal dan poros kehidupan di jagad raya ini.
Nur
Ilahi kemudian dikenal sebagai Nur Muhammad oleh kalangan sufi, disamping
terdapat dalam diri Muhammad juga dipancarkan Allah Subhanahu Wa Ta’ala ke
dalam diri Nabi Adam Alaihi Salam. Al-Jili dengan karya monumentalnya yang
berjudul al-Insan al-Kamil fi Ma’rifah al-Awakir wa al-Awa’il (Manusia Sempurna
dalam Konsep Pengetahuan tentang Misteri yang Pertama dan yang Terakhir)
mengawali pembicaraannya dengan mengidentifikasikan insan kamil dengan dua
pengertian.
a. Insan kamil
dalam pengertian konsep pengetahuan mengenai manusia yang sempurna. Dalam
pengertian demikian, insan kamil terkait dengan pandangan mengenai sesuatu yang
dianggap mutlak, yaitu Tuhan. Yang Mutlak tersebut dianggap mempunyai
sifat-sifat tertentu, yakni yang baik dan sempurna. Sifat sempurna inilah yang
patut ditiru oleh manusia. Seseorang yang makin memiripkan diri pada sifat
sempurna dari Yang Mutlak tersebut, maka makin sempurnalah dirinya.
b. Insan kamil
terkait dengan keyakinan bahwa yang memiliki sifat mutlak dan sempurna itu
mencakup Asma’ sifat dan hakikatNya.
Bagi al-Jili, manusia dapat mencapai jati
diri yang sempurna melalui latihan rohani dan pendakian mistik, bersamaan
dengan turunnya Yang Mutlak ke dalam manusia melalui berbagai tingkat. Latihan
rohani ini diawali dengan manusia bermeditasi tentang nama dan sifat-sifat
Tuhan, dan mulai mengambil bagian dalam sifat-sifat Illahi serta mendapat
kekuasaan yang luar biasa.
Al-Jili membagi insan kamil atas tiga tingkatan.
1) Tingkat
permulaan (al-bidāyah). Pada tingkat ini insan kamil mulai dapat
merealisasikan asma dan sifat-sifat Ilahi pada dirinya.
2) Tingkat
menengah (at-tawasut). Pada tingkat ini insan kamil sebagai orbit
kehalusan sifat kemanusiaan yang terkait dengan realitas kasih Tuhan (al-haqāiq
ar-rahmāniyah). Sementara itu, pengetahuan yang dimiliki oleh insan kamil
pada tingkat ini juga telah meningkat dari pengetahuan biasa, karena sebagian
dari hal-hal yang gaib telah dibukakan Tuhan kepadanya.
3) Tingkat
terakhir (al-khitām). Pada tingkat ini insan kamil telah dapat
merealisasikan citra Tuhan secara utuh. Dengan demikian pada insan kamil sering
terjadi hal-hal yang luar biasa.
2.1.2 Konsep Insan Kamil menurut
Al-Qur’an dan Hadits
Nabi Muhammad Shallallahu Alaihi Wasallam disebut sebagai teladan insan kamil
yang tertulis seperti di dalam Q.S. al- Ahdzab/33:21:
“Sesungguhnya telah ada pada (diri)
Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap
(rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan Dia banyak menyebut Allah”.
Allah Subhanahu Wa Taala tidak membiarkan kita untuk menginterpretasikan tata
nilai tersebut semaunya, berstandar seenaknya, tapi juga memberikan kepada
kita, Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam yang menjadi uswah hasanah.
Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam merupakan insan kamil, manusia
paripurna, yang tidak ada satupun sisi-sisi kemanusiaan yang tidak disentuhnya
selama hidupnya. Ia adalah ciptaan terbaik yang kepadanya kita merujuk akan
akhlaq yang mulia. Sebagaimana firman Allah Subhana Wa Taala:
“Dan sesungguhnya engkau (Muhammad)
benar-benar memiliki akhlaq yang mulia.” (QS. Al-Qolam:4)
Nur atau cahaya yang menjadi sosok diri Muhammad adalah sebagai seorang
Rasulullah Rahmatan Lil’alamin. Muhammad adalah nabi akhir zaman dan karena itu
menjadi penutup semua nabi terdahulu yang diutus untuk menjadi saksi kehidupan
manusia dan pembawa berita tentang kehidupan mendatang di akhirat sesuai dengan
firman Allah Subhanahu Wa Taala :
“Sesungguhnya telah datang kepadamu cahaya dari Allah, dan kitab yang
menerangkan. Dengan kitab itu Allah menunjuki orang-orang yang mengikuti
keridaan-Nya ke jalan keselamatan, dan (dengan kitab itu pula) Allah
mengeluarkan orang-orang itu dari gelap gulita kepada cahaya yang terang
benderang dengan seizin-Nya, dan menunjuki mereka ke jalan yang lurus.” (Al
Maidah 15-16)
Firman
Allah itu menjelaskan tentang nur atau cahaya yang menjadi sosok diri Muhammad
sebagai seorang Rasulullah Rahmatan Lil’alamin. Muhammad adalah nabi akhir
zaman dan karena itu menjadi penutup semua nabi terdahulu yang diutus untuk
menjadi saksi kehidupan manusia dan pembawa berita tentang kehidupan mendatang
di akhirat.
“Hai Nabi, sesungguhnya Kami mengutusmu untuk menjadi saksi, pembawa
kabar gembira dan pemberi peringatan, dan untuk menjadi penyeru kepada agama
Allah dengan izin-Nya dan untuk menjadi cahaya yang menerangi. Dan sampaikanlah
berita gembira kepada orang-orang mukmin bahwa sesungguhnya bagi mereka karunia
yang besar dari Allah.” (Al Ahzab: 45-47).
Rasulullah Shallallahu Alahi Wasallam bersabda
sehubungan dengan akhlaq, hati dan lisan:
“Iman seorang hamba tidaklah lurus sehingga lurus
hatinya. Dan tidak akan lurus hati seorang hamba sehingga lurus lisannya.”
(H.R. Ahmad).
Sehubungan dengan hubungan sosial, beliau bersabda:
“Barangsiapa beriman kepada Allah dan hari akhir maka
muliakanlah tetangganya, dan barang siapa beriman kepada Allah dan hari akhir
maka muliakanlah tamunya, dan barang siapa beriman kepada Allah dan hari akhir
maka berkatalah yang baik atau diam.” (H.R. Bukhari dan Muslim)
Dan masih banyak lagi ibrah lainnya dari kehidupan
Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam, yang menunjukkan keagungan dan
kemuliaan akhlaq beliau, baik akhlaq terhadap diri sendiri, terhadap sesama
manusia, terhadap makhluk lainnya dan tentunya akhlaq terhadap Khaliqnya
sebagai insan kamil.
2.1.3 Kedudukan Insan Kamil
Insan kamil jika dilihat dari segi fisik
biologisnya tidak berbeda dengan manusia lainnya. Namun dari segi mental
spiritual ia memiliki kualitas-kualitas yang jauh lebih tinggi dan sempurna
dibanding manusia lain. Karena kualitas dan kesempurnaan itulah Allah
menjadikan insan kamil sebagai khalifah-Nya. Yang dimaksud dengan khalifah
bukan semata-mata jabatan pemerintahan lahir dalam suatu wilayah negara (al-khilāfah
az-zāhiriyyah) tetapi lebih dikhususkan pada khalifah sebagai wakil Allah (al-khilāfah
al-ma’nawiyyah) dengan manifestasi nama-nama dan sifat-Nya sehingga
kenyataan adanya Tuhan terlihat padanya.
Di sisi lain, insan kamil dipandang sebagai orang yang mendapat pengetahuan
esoterik yang dikenal dengan pengetahuan rahasia (‘ilm al-asrār), ilmu
ladunni atau pengetahuan gaib. Jika seseorang telah dapat mengosongkan aql
dan qalbnya dari egoisme, keakuan, keangkuhan, dengan keikhlasan total
dan kemudian berusaha keras, dengan menyiapkan diri menjadi murid memohon Allah
mengajarkan kepadanya kebenaran, dan dengan aktif ia mengikuti aqal dan qalbunya
merangkaikan berbagai realitas yang hadir dalam berbagai dimensinya, maka Allah
hadir membukakan pintu kebenaran dan ia masuk ke dalamnya, memasuki kebenaran
itu, dan ketika ia keluar, maka ia menjadi dan menyatu dengan kebenaran yang
telah dimasukinya. Pengetahuan esoterik adalah karunia (mawhibat) dari
Allah, setelah seseorang menempuh penyucian diri (tazkiyah an-nafs).
Insan kamil juga dipandang sebagai wali tertinggi, atau disebut juga qutb
(poros). Dalam struktur spiritual sufi, quthb adalah pemegang pimpinan
tertinggi dari para wali. Ia hanya satu orang dalam setiap zaman.
Dari kajian di atas dapat dipahami bahwa insan kamil adalah wadah
terbukanya tabir yang menghalangi hamba dengan-Nya sehingga hamba menyaksikan
tanda-tanda kekuasaan dan keagungan-Nya (tajalli) yang berkedudukan sebagai khalifah
dan sebagai wali tertinggi (qutb). Sebagai wadah terbukanya
tabir yang menghalangi hamba dengan-Nya sehingga hamba menyaksikan tanda-tanda
kekuasaan dan keagungan-Nya (tajalli) merupakan sebab
tercipta dan lestarinya alam, dalam kedudukannya sebagai khalifah ia adalah
wakil Tuhan di muka bumi untuk memanifestasikan kemakmuran, keadilan, dan
kedamaian, dan dalam kedudukannya sebagai poros (quthb) .
2.1.4 Kriteria atau ciri – ciri Insan Kamil
Sifat –
sifatnya terdiri dari :
1)
Keimanan
2)
Ketaqwaan
3)
Keadaban
4)
Keilmuan
5)
Kemahiran
6)
Ketertiban
7)
Kegigihan dalam kebaikan dan kebenaran
8)
Persaudaraan
9)
Persepakatan dalam hidup
10) Perpaduan dalam ummah
Sifat –
sifat inilah yang menjamin manusia menjadi sempurna dan mencapai hasanah dalam
dunia dan hasanah dalam akhirat.
Cara-cara
mencapainya ialah dengan :
1)
Ilmu taubat dengan syarat –
syaratnya menghindari dari yang menyebabkan nafsu dengan mengawalnya dengan
mendisiplinkan pergaulan dan harta serta mengambilkan yang halal dan
membelanjakan dalam perkara halal, kemudian disertai dengan berhemat.
2)
Berjaga – jaga supaya amalan tidak
binasa oleh niat-niat yang merobohkannya seperti ria digantikan dengan ikhlas.
3)
Keadaan tergesa-gesa digantikan dengan sabar.
4)
Tidak cermat digantikan dengan sifat cermat
menyelamatkan diri daripada kelesuan.
5)
Dengan mengamalkan sifat harap dan
takut, maksudnya harap bahwa Allah akan menerima amalan dan menyelamatkan kita,
takut kalau-kalau Allah tidak mengampuni kita dan menerima amalan kita.
6)
Mengamalkan sifat puji dan syukur
dalam hidup terhadap Allah juga terhadap makhluk yang menjadi wasilah atau
perantara sampainya nikmat Allah kepada kita. Puji dan syukur itu dapat berupa
rasa gembira dan syukur terhadap nikmat Allah dan lidah mengucapkan kesyukuran,
serta dengan melakukan perbuatan – perbuatan yang diridhoi Allah Subhanahu Wa Taala.
2.2 Definisi Pluralitas
Pluralitas
berasal dari bahasa inggris “plural” yang berarti banyak, majemuk. Dalam
beberapa kamus bahasa Inggris, tedapat tiga pengertian yaitu :
1.
pengertian kegerejaan, sebutan untuk orang yang memegang lebih dari satu
jabatan dalam struktur kegerejaan, memegang dua jabatan atau lebih secara
bersamaan baik bersifat kegerejaan maupun non kegerejaan.
2. pengertian filosofis,sistem
pemikiran yang tidak hanya berlandaskan pada satu hal
3. pengertian sosio-politis,
mengakui adanya perbedaan dalam segala hal dengan tetap menjunjung tinggi
aspek-aspek perbedaan diantara kelompok-kelompok tersebut.
Sedangkan
dalam kamus ilmiah popular, pluralitas
adalah kejamakan, orang banyak. Atau bisa juga diartikan sebagai keberagaman. Jadi,
pluralitas adalah keberadaan dari sejumlah orang atau kelompok dalam satu
masyarakat yang berasal dari latar belakang yang berbeda.
Al-Qur’an
sendiri juga mengakui adanya pluralitas, yang tercantum dalam Q.S. Ar Rum: 22 :
“Dan di antara
tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah penciptaan langit dan bumi dan berlainan
bahasamu dan warna kulitmu. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar
terdapat tanda bagi orang-orang yang mengetahui.”
Ayat
ini menunjukkan bahwa keberagaman suku, bangsa, bahasa, warna kulit adalah hal
yang menjadi sunnatullah. Inilah yang dikatakan pluralitas menurut islam.
Sebagaimana diciptakannya berbagai suku dan budaya di penjuru dunia.
2.2.1
Definisi Pluralitas Agama
Agama
berasal dari bahasa sanskerta “a”
yang berarti tidak, dan “gama” yang
berarti kacau. Jadi, secara etimologi agama adalah sesuatu yang tidak
kacau(teratur). Dari segi istilah, agama dapat dirtikan sebagai suatu hal yang
mencakup tentang keyakinan (kepercayaan) dan cara-cara peribadatan yang
ditujukan kepada Tuhan, serta mengkaji tentang berbagai amalan (tindakan) yang
ditujukan kepada sesame manusia.
Dari
kedua uraian diatas (pluralitas dan agama), dapat diambil kesimpulan bahwa pluralitas
agama adalah suatu keragaman agama yang terkumpul dalam suatu masyarakat
tertentu. Seseorang bisa disebut manusia yang berpluralitas (agama) jika dapat
berinteraksi positif dalam lingkungan kemajemukan dalam agama tersebut. Dengan
kata lain, dalam pluralitas agama, tiap pemeluk agama dituntut untuk mengakui
adanya berbagai agama sebagai sunnatullah. Artinya, tidak mungkin bisa
disamakan antara satu dengan yang lain. Lebih dari itu, tiap pemeluk agama
tidak hanya mengakui adanya perbedaan agama, tapi juga memahami dan menghormati
perbedaan tersebut sehingga memunculkan suatu persatuan yang kuat dalam suatu
masyarakat tersebut.
2.2.2 Pandangan
Islam tentang Keberagaman (pluralitas)
Allah
Subhanahu Wa Taala melalui wahyunya telah memberikan petunjuk yang jelas
tentang bagaimana seharusnya seorang hamba berinteraksi dengan sesamanya.
Begitu juga hal ini telah di contohkan oleh utusan-Nya Muhamad Shallallahu
Alaihi Wasallam. Dan fatwa MUI di atas dirasa telah cukup untuk mewakili
bagaimana sebenarnya Islam mengajarkan umatnya menyikapi masalah pluralitas.
Dalam
hal Aqidah dan Ibadah, umat Islam diperintahkan untuk tidak berkompromi dengan
orang kafir. Umat Islam dilarang meyakini kebenaran agama lain selain Islam.
Umat Islam dilarang juga mencampuradukan konsep peribadahan dengan agama lain
diluar Islam (sinkretisme). Diantara ayat al Qur’an yang membahas masalah ini
adalah QS al Kaafirun [109] : 1-6 :
“Katakanlah: Hai orang-orang kafir, Aku tidak akan menyembah apa yang
kamu sembah. Dan kamu bukan penyembah Tuhan yang Aku sembah. Dan Aku tidak
pernah menjadi penyembah apa yang kamu sembah, Dan kamu tidak pernah (pula)
menjadi penyembah Tuhan yang Aku sembah. Untukmu agamamu, dan untukkulah,
agamaku.”
Dari
awal sampai akhir ayat diatas dengan sangat jelas melarang umat Islam melakukan
kompromi Aqidah dan ibadah dengan orang-orang kafir. Umat Islam diperintahkan
untuk mengatakan kepada orang kafir bahwa kita bukanlah penyembah dan tidak
akan pernah menjadi penyembah apa yang mereka sembah. Sebaliknya, orang kafir
bukanlah penyembah dan tidak akan pernah menjadi penyembah apa yang orang Islam
sembah.
Penolakan
Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam kepada ajakan Quraisy diatas menunjukan
bahwa tidak ada kompromi bagi umat Islam dengan agama lain dalam hal Aqidah dan
Ibadah. Namun, Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam juga mengajarkan tetap
berkompromi dan bergaul dengan masyarakat diluar agama Islam dalam hal-hal yang
bersifat sosial kemasyarakatan. Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam tetap
berinteraksi (inklusif) dan tidak menutup diri (eksklusif) dengan orang-orang
diluar agama Islam.
2.2.3 Pluralitas Agama di
Indonesia
Seperti
yang diketahui bahwa indonesia terdiri dari berbagai suku, ras, agama dan
kebudayaan. Seperti motto negara negara kita Bhinneka Tunggal Ika yang artinya
Berbeda-beda tetapi tetap satu. Karena itulah di Indonesia terdapat bermacam
macam agama. Yang diakui oleh pemerintah ada 5 agama, yaitu: Islam, Kristen,
Katolik, Hindu, Budha. Islam sendiri menjadi agama yang paling banyak dianut
oleh masyarakat Indonesia. Selain kelima agama yang diakui pemerintah tadi
masih banyak agama lain yang tidak diakui oleh pemerintah. Setiap warga negara
Indonesia diwajibkan untuk memeluk salah satu dari kelima agama yang diakui
oleh pemerintah. Sesuai dengan sila 1 pancasila “Ketuhanan Yang Maha Esa”.
Setiap warga negara memiliki kebebasan dalam memilih agama yang ingin mereka
peluk dan semua diatur dalam Undang-undang. Karena itu seorang warga negara
Indonesia tidak boleh dipaksa dalam memilih suatu agama.
Banyak
yang pro dan kontra dengan konsep pluralitas agama di Indonesia ini.
a. Pro pluralitas.
a. Pro pluralitas.
Bagi
yang pro pruralitas agama, keberagaman agama ini dianggap sebagai hal yang
positif. Ini disebabkan karena keberagaman di Indonesia ini bisa menjadikan
Indonesia sebagai contoh yang baik bagaimana kehidupan kerukunan antar agama.
Dan keberagaman agama di Indonesia memang berasal dari masa lalu yang tidak
bisa dirubah. Sehingga keberagaman ini memang harus dipertahankan dan setiap
umat agama harus bisa menghormati umar agama lain. Selain itu bagi kelompok pro
prutalitas beranggapan bahwa islam juga harus mencerminkan salah satu ajarannya
yakni sikap toleransi. Dengan mencerminkan sikap toleransi ini maka umat Islam
juga dapat mencerminkan ajaran agamanya kepada penganut agama lain, bahwa islam
itu toleran dan tidak radikal.
Selain
itu bagi kelompok pro pluralitas ini mereka juga mengutamakan kesatuan dari
NKRI. Sesuai dengan sejarah perumusan sila pancasila pertama bahwa pada saat
itu para pendiri bangsa juga sempat berdebat apakah Indonesia akan dijadikan
negara Islam atau negara dengan keberagaman agama. Tapi pada akhirnya Indonesia
dijadikan negara dengan keberagaman budaya dan agama. Dan kelompok pro
pluralitas beranggapan bahwa warisan sejarah dari para pendiri bangsa ini harus
dipertahankan. Karena itu setiap kebijakan dalam pemerintahan haruslah
menguntungkan semua umat beragama dan jangan hanya menguntungkan satu umat
saja.
b.
Kontra Pluralitas
Bagi
kelompok kontra pluralitas, pluralitas dianggap bisa mengancam kemurnian ajaran
suatu agama. Ini disebabkan karena pada dasarnya setiap agama memiliki ajaran
masing masing yang berbeda dari agama lain. Dan ketakutan para kelompok kontra
pluralitas ini adalah bahwa nantinya ajaran setiap agama akan saling bercampur
baur dengan ajaran agama lain. Selain itu jika dilihat dari praktek dilapangan,
sangat jelas bahwa pengaplikasian toleransi masih belum dapat dilaksanakan
dengan baik. Kerukunan antar umat beragama bisa dibilang masih jauh dari yang
diharapkan. Sebagai contoh adalah ketakutan kristenisasi di daerah islam dan
islamisasi di daerah kristen membuat setiap penganut agama akan sedikit menutup
diri dari penganut agama lain.
2.3 Pengertian Pluralisme dan Pluralisme Agama
Pluralisme (bahasa Inggris:
pluralism), terdiri dari dua kata plural (beragam) dan isme (paham)
yang berarti beragam pemahaman, atau bermacam-macam paham.
Pluralisme agama
adalah sebuah konsep yang mempunyai makna yang luas, berkaitan dengan
penerimaan terhadap agama-agama
yang berbeda, dan dipergunakan dalam cara yang berlain-lainan pula:
·
Sebagai pandangan dunia
yang menyatakan bahwa agama seseorang bukanlah sumber satu-satunya yang
eksklusif bagi kebenaran, dan dengan
demikian di dalam agama-agama lain pun dapat ditemukan, setidak-tidaknya, suatu
kebenaran dan nilai-nilai yang benar.
·
Sebagai penerimaan atas
konsep bahwa dua atau lebih agama yang sama-sama memiliki klaim-klaim kebenaran
yang eksklusif sama-sama sahih. Pendapat ini seringkali menekankan aspek-aspek
bersama yang terdapat dalam agama-agama.
·
Kadang-kadang juga
digunakan sebagai sinonim untuk ekumenisme,
yakni upaya untuk mempromosikan suatu tingkat kesatuan, kerja sama, dan
pemahaman yang lebih baik antar agama-agama atau berbagai denominasi
dalam satu agama.
·
Dan sebagai sinonim
untuk toleransi agama,
yang merupakan prasyarat untuk ko-eksistensi harmonis antara berbagai pemeluk
agama ataupun denominasi yang berbeda-beda.
2.3.1
Pluralisme dalam Pandangan Islam
Dalam
pandangan Islam, sikap menghargai dan toleran kepada pemeluk agama lain adalah
mutlak untuk dijalankan, sebagai bagian dari keberagaman(pluralitas). Namun
anggapan bahwa semua agama adalah sama (pluralisme) tidak diperkenankan, dengan
kata lain tidak menganggap bahwa Tuhan yang 'kami' (Islam) sembah adalah Tuhan
yang 'kalian' (non-Islam) sembah. Pada 28 Juli 2005, Majelis Ulama Indonesia
(MUI) menerbitkan fatwa
melarang paham pluralisme dalam agama Islam. Dalam fatwa tersebut, pluralisme
didefiniskan sebagai ""Suatu paham yang mengajarkan bahwa semua
agama adalah sama dan karenanya kebenaran setiap agama adalah relatif; oleh
sebab itu, setiap pemeluk agama tidak boleh mengklaim bahwa hanya agamanya saja
yang benar sedangkan agama yang lain salah. Pluralisme juga mengajarkan bahwa semua pemeluk
agama akan masuk dan hidup dan berdampingan di surga".
Namun
demikian, paham pluralisme ini banyak dijalankan dan kian disebarkan oleh
kalangan Muslim
itu sendiri. Solusi Islam terhadap adanya pluralisme agama adalah dengan
mengakui perbedaan dan identitas agama masing-masing (lakum diinukum wa liya
diin).
Tapi
solusi paham pluralisme agama diorientasikan untuk menghilangkan konflik dan
sekaligus menghilangkan perbedaan dan identitas agama-agama yang ada.
2.3.2 Pro-Kontra Pluralisme Agama di Indonesia
Bangsa
Indonesia tak pernah tabu dari adanya keberagaman atau pluralitas. Tetapi
berbeda ketika berbicara tentang pluralitas agama yang seringkali menjadi latar
belakang terjadinya banyak konflik dalam suatu kehidupan bermasyarakat dan
bernegara.
Paham pluralisme terutama dalam
pembahasan ini adalah konsentrasi pada masalah agama memiliki definisi sebuah
konsep yang mempunyai makna yang luas, berkaitan dengan penerimaan terhadap agama-agama
yang berbeda, dan dipergunakan dalam cara yang berbeda-beda.
Dua orang tokoh
pluralis agama, Dr. M. Syafii Anwar (MSA), Direktur The International Centre
for Islam and Pluralism (ICIP) dan Budhy Munawar-Rachman (BMR), mantan Direktur
Eksekutif Yayasan Paramadina, punya persepsi berbeda mengenai pluralisme. MSA,
lebih menekankan pandangan mengenai perbedaan agama-agama atau pluralitas
agama-agama sebagai premis paham pluralisme agama. Sementara BMR sebaliknya, ia
menganut paham pluralisme berdasarkan pandangan bahwa semua agama itu sama-sama
baik dan benar.
Persepsi yang pertama
itu diterima sebagai kenyataan oleh fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI). Tapi
pluralisme menurut BMR ditolak, karena pluralisme dinilai sebagai suatu paham.
Yang pertama bersifat obyektif, sedangkan yang kedua subyektif.
Fatwa
yang dikeluarkan oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI) pada tanggal 28 Juli 2005 untuk memahamkan istilah
Pluralisme Agama tersebut adalah suatu paham yang mengajarkan bahwa semua agama
adalah sama dan karenanya kebenaran setiap agama adalah relatif, oleh sebab itu
setiap pemeluk agama tidak boleh mengklaim bahwa agamanya saja yang benar
sedangkan agama yang lain salah, pluralisme juga mengajarkan bahwa semua
pemeluk agama akan masuk dan hidup berdampingan di Surga.
Dalam
buku Pluralisme Agama: Fatwa MUI yang Tegas dan Tidak Kontroversial dijelaskan
tentang sejarah munculnya wacana pluralisme agama yang ada pada abad ke-20 yang
dilakukan oleh seorang teolog kristen Jerman bernama Ernest Troeltsch. Dalam
buku ini juga dijelaskan tentang kelemahan mendasar yang terdapat dalam paham
pluralisme agama. Yaitu, pertama, kaum pluralis mengklaim bahwa pluralisme
menjunjung tinggi dan mengajarkan toleransi, tapi justru mereka sendiri yang
tidak toleran karena menafikan “kebenaran ekslusif” sebuah agama. Kedua, adanya
“pemaksaan” nilai-nilai budaya Barat (westernisasi), terhadap
negara-negara belahan di dunia bagian timur dengan berbagai bentuk dan cara.
Pluralisme agama adalah suatu paham
yang melegitimasi dan mendukung kekufuran dan kemusyrikan, sedangkan Islam
adalah agama yang benar-benar memurnikan Allah dari perbuatan syirik atau agama
yang benar-benar mentauhidkan Allah, “Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni
dosa syirik dan Dia mengampuni segala dosa selain dari itu, bagi siapa yang
dikehendaki-Nya. Barangsiapa yang menyekutukan Allah, maka sungguh ia telah
melakukan dosa yang sangat besar” (QS: An-Nisa:48)
Dengan ayat ini, sudah jelas bahwa
Allah sangat murka dengan kemusyrikan, sedangkan pluralisme agama melegitimasi
segala jenis kemungkaran. Pluralisme agama jelas membongkar islam dari konsep
dasarnya. Tidak ada lagi konsep mukmin, kafir, syirik, surga, neraka, dan
sebagainya. Karena itu mustahil paham pluralisme dapat hidup berdampingan
secara damai dengan tauhid Islam.
BAB 3
PENUTUP
KESIMPULAN
1. Insan kamil
berasal dari bahasa Arab, yaitu dari dua kata Insan dan kamil. Secara harfiah,
Insan berarti manusia, dan kamil berarti yang sempurna. Dengan demikian, insan
kamil berarti manusia yang sempurna.
2. Menurut Ibnu
‘Arabi, insan kamil merupakan wadah terbukanya tabir yang
menghalangi hamba dengan-Nya sehingga hamba menyaksikan tanda-tanda kekuasaan
dan keagungan-Nya (tajalli)
Tuhan yang paripurna, sementara disisi lain, ia merupakan miniatur dari segenap
jagad raya, karena pada dirinya terproyeksi segenap realitas individual dari
alam semesta, baik alam fisika maupun metafisika.
3. Al-Jili
merumuskan insan kamil ini dengan merujuk pada diri Nabi Muhammad Shallallahu
Alaihi Wasallam sebagai sebuah contoh manusia ideal.
4. Dalam
Al-Qur’an menerangkan bahwa nabi Muhammad adalah figur insan kamil yang patut
dicontoh oleh umat manusia.
5.
Pluralitas dan
pluralisme memang sudah selayaknya ditanamkan pada diri setiap manusia. Hal ini
mengingat bahwa kedua hal tersebut merupakan hal pokok yang mendasari sikap
kerukunan dalam masyarakat. Terlebih jika ditambah kata "agama"
dibelakangnya, yang sebagian orang tidak memahami hal tersebut. Sehingga yang
ada hanyalah mengakui bahwa agama mereka yang paling benar dan cenderung merendahkan
(bahkan kekerasan fisik) agama lain. Memang, meyakini bahwa agama kita yang
paling benar itu tidaklah salah, karena itu merupakan keyakinan yang tidak
dapat diganggu gugat. Akan tetapi, menganggap remeh agama orang lain
sampai-sampai merendahkan pemeluknya adalah sesuatu yang fatal.
6.
Dalam sejarah Islam,
Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam sangat menghargai pemeluk agama lain
(selama mereka tidak memerangi ataupun merendahkan Islam). Terbukti bahwa
antara umat muslim dan nonmuslim kala itu hidup rukun tanpa ada konflik yang
berarti. Dengan tetap meyakini agama masing-masing. Perjanjian hudaibiyah
menjadi salah satu buktinya.
7.
Walaupun pluralitas
agama diakui dalam Islam, tapi kita juga tetap wajib mendakwahkan Islam,
terlebih kepada pemeluk agama lain dengan tetap menghargai agama mereka.
DAFTAR PUSTAKA
Ali, Yunasril, Manusia Citra
Ilahi, Jakarta: Paramadina, 1997
Asmaran, Pengantar
Studi Tasawuf, Jakarta:PT Raja Grafindo Persada, 2002
Asy’arie,
Musa, Filsafat Islam Sunnah Nabi dalam Berpikir, Yogyakarta: LESFI,
2002
Imarah,
Muhammad. 1999. ISLAM DAN PLURALITAS Perbedaan dan Kemajemukan dalam Bingkai
Persatuan. Jakarta : Gema Insani Press.
Husaini,
Adian. 2005. Pluralisme Agama: Fatwa MUI yang Tegas dan Tidak Kontroversial.Jakarta:
Pustaka al-Kautsar.
M,
Zainudin. 2010. Pluralisme Agama. Malang : UIN Maliki.
http://spi2010b.wordpress.com/2012/11/02/insan-kamil
No comments:
Post a Comment